Sangat diperlukan komitmen Aparat Penegak Hukum (APH) untuk memberikan keadilan dan perlindungan dari kekerasan seksual korban Anak, agar para predator seksual anak tidak bebas berada di lembaga pendidikan, sekolah maupun pondok pesantren.
Masyarakat dan orang tua diminta ikut memberikan perhatian dan pengawasan terhadap anak yang dititipkan di setiap lembaga pendidikan.
Menteri mendorong masyarakat terlibat memberikan perlindungan anak, apabila mengetahui, melihat, mendengar sendiri terjadi kekerasan pada anak dan perempuan, cepat kontak ke Nomor 129 SAPA atau kirim pesan ke nomor whatsapp 08-111-129-129.
Asisten Deputi Pelayanan Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus, pada Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Robert Parlindungan Sitinjak mengatakan berdasarkan pengakuan dari pelaku (RD) sampai lupa berapa jumlah korbannya, karena banyaknya aksi pencabulan yang dilakukannya sejak enam tahun silam atau mulai tahun 2016.
Hingga akhirnya ada lima korban santri anak laki-laki yang berani melapor. Korban anak lainnya diperkirakan masih banyak di Ponpes yang belum mau atau berani melaporkan pengaduan kekerasan seksual yang dialaminya kepada polisi.
Dinas P3AP2KB Kota Tarakan mendamping lima santri yang masih trauma, dan dibantu HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) Provinsi Kalimantan Utara melakukan tracing assesmen untuk mencari terduga korban lainnya dari sekitar 200-an santri anak pria di Pondok Pesantren Tarakan tersebut.
Dinas P3AP2KB Kota Tarakan menduga korbannya masih banyak tidak mau bersuara, karena trauma ketakutan. Pelaku RD saat diperiksa di Polsek Tarakan Utara mengakui perbuatannya.
Robert mengatakan bila terbukti, pelaku predator seksual anak tersebut diduga dijerat dengan pasal berlapis, yaitu melakukan kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau memaksa, atau melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan, atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, ancaman hukuman penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Bila terbukti, pelaku seorang marbot yang mendidik pengajian anak dan korbannya lebih satu orang, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana di atas sebagaimana Pasal 76 E UU 35/2014 jo Pasal 82 ayat 1, 2, 4, 5, 6 PERPU 1/2016 jo UU 17/2016 tentang Perlindungan Anak, dan pelaku dapat dikenai tambahan berupa Pengumuman Identitas Pelaku.
Baca Juga: KemenPPPA Dorong Pemberdayaan Perempuan Wirausaha Melalui Bisnis Yang Inklusif Pasca Pandemi
“KemenPPPA terus koordinasi dengan Dinas P3AP2KB dan P2TP2A Kota Tarakan terkait pendampingan layanan psikologis terhadap korban anak; dan Kemen PPPA juga terus koordinasi dengan Unit PPA Polres Tarakan, yang asistensi pemberkasan perkara oleh Polsek Tarakan Utara. Minggu depan khusus dilakukan pemeriksaan psikologis pada pelaku, untuk melengkapi berkas perkara penyidikan, yang akan diteliti oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Tarakan,” kata Robert.