Salah satunya yakni pemberontak Houthi yang kini mengepung dan maju ke Ma'rib, provinsi di Yaman yang kaya minyak dan gas.
Lama diremehkan sebagai kekuatan militer, pemberontak ini tampaknya menjalankan kampanye multifront yang gesit dan berkembang, memasangkan serangan dengan penjangkauan untuk melunakkan perlawanan para pemimpin suku setempat.
Hingga kini, pemberontak telah menguasai Al-Bayda, sebuah provinsi tetangga Ma'rib, dan akan menuju ke Shabwa, lebih jauh ke timur, sehingga memotong jalur pasokan ke Ma'rib.
Jika banyak wilayah runtuh maka Houthi akan mencetak kemenangan ekonomi dan juga militer.
Dengan minyak dan gas Marib, Houthi akan dapat menurunkan harga bahan bakar dan listrik di daerah-daerah di bawah kendali mereka, sehingga memperkuat citra mereka sebagai otoritas pemerintahan yang layak mendapat legitimasi internasional.
Amerika Serikat dan China
Tak lama setelah menarik diri dari Afghanistan, Amerika Serikat mengumumkan pakta baru dengan Australia dan Inggris untuk melawan China.
Dikenal sebagai AUKUS, pakta pertahanan tersebut mendukung Canberra memperoleh kapal selam bertenaga nuklir untuk mengantisipasi kekuatan China di wilayah tersebut.
Lebih jauh, langkah ketiga negara tersebut mengantisipasi kekuatan China satu dekade terakhir di badan internasional dan kebijakannya.
Penduduk Haiti telah lama tersiksa oleh krisis politik, perang geng, dan bencana alam.
Gempa Hati pada Agustus 2021 menghancurkan sebagian besar Haiti selatan.
Namun, penculikan oleh geng yang merajalela di sebagian besar ibu kota Port-au-Prince telah menghambat upaya bantuan internasional.
Sebelumnya pada Juli 2021, pembunuh bayaran menewaskan Presiden Jovenel Moïse di rumahnya.
Dengan banyaknya tragedi di Haiti, semakin banyak penduduk meninggalkan rumah dan berkemah di sepanjang perbatasan selatan AS hingga ke negara lain.
Konflik ini pun bisa akan terus terjadi jika proses transisi kepemimpinan mencapai kesepakatan yang gagal.
Baca Juga: 10 Negara dengan Durasi Waktu Puasa Paling Singkat! Cuma 8 Jam Saja