Ketika merasa tertekan, Kelana pun membanting sumpingnya ke tanah dan berubah menjadi dua ekor burung Merak.
Sumping adalah perhiasan di atas telinga. Keindahan burung Merak itu pun membuat Singa Barong terlena.
Saat Singa Barong sedang terlena, kelengahan itu dimanfaatkan Kelana dengan mencambukkan senjatanya yang bernama “Pecut Saman”.
Dengan cambukan Pecut Saman, Singa Barong berhasil dikalahkan.
Kemenangan itu membawa Kelana Swandana bisa diterima untuk mempersunting Putri Kediri Dewi Dyah Ayu Sangga Langit.
Saat pesta perkawinan keduanya digelar, mereka diiringi oleh arak-arakan Singa Barong dengan dua Merak bertengger di atasnya.
Dari sinilah kemudian dikembangkan menjadi permainan reog.
Baca Juga: Polair Tanjung Balai dan Polda Sumut Amankan 15 PMI Pulang dari Malaysia
Ki Ageng Kutu
Versi asal-usul kesenian Reog Ponorogo berikutnya adalah kisah Ki Ageng Kutu.
Ki Ageng Kutu merupakan abdi Raja Brawijaya V yang meninggalkan Kerajaan Majapahit.
Kemudian, Ki Ageng Kutu mendirikan padepokan Surukebung yang digunakan untuk melatih para pemuda belajar ilmu kanuragan melalui permainan barongan.
Kendati demikian, Raja Barawijaya V menilai bahwa Ki Ageng Kutu telah berkhianat.
Raja akhirnya mengutus Raden Katong atau Bathoro Katong. Raden Katong adalah adipati pertama Kadipaten Ponorogo pada tahun 1837.
Sebagai imbalan, Raja Brawijaya V memberikan tanah perdikan di Wengker kepada Raden Katong lantaran berhasil menakhlukkan Ki Ageng Kutu.
Kisah perjuangan Raden Katong tersebut akhirnya digunakan untuk menamai kesenian tarian Reog yang berasal dari Riyokun, artinya khusnul khotimah.
Namun, ada juga yang menafsirkan tarian Reog sebagai sindiran Ki Ageng Kutu kepada Raja Brawijaya V lantaran tunduk kepada isterinya.
Raja Brawijaya V diibaratkan seekor macan yang ditunggangi oleh merak yang dimisalkan sebagai isterinya. Adapun penari-penarinya diibaratkan sebagai pasukan Majapahit.