Sonora.ID - Hai para Ladies dan Sahabat Sonora. Pernahkah kalian berpikir bahwa menjadi seorang wanita (perempuan) itu tidaklah mudah?
Seringkali kita dihadapkan dengan permasalahan yang datang dan pergi, silih berganti dengan meninggalkan jejak ingatan yang berbekas di benak kita.
Lantas sebagai perempuan, kita memiliki Hak yang sama untuk melindungi diri dari kejamnya kecaman diluar sana. Kejahatan yang sering datang menimpa kita adalah stigma dan Verbal Abusive dari masyarakat dan orang sekeliling kita.
Pelecehan seksual sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pakaian yang dikenakan oleh korban dan ia tidak pandang waktu.
Survei yang dirilis oleh change.org pada akhir 2018 lalu menemukan bahwa sebanyak 18% korban pelecehan seksual mengenakan rok dan celana panjang.
Disusul dengan busana hijab sebanyak 17%, baju lengan panjang 16%, seragam sekolah dan pakaian longgar masing-masing sebanyak 14%. Sementara, waktu terjadinya pelecehan seksual paling banyak justru terjadi saat siang hari dengan pangsa sebesar 35%. Kemudian disusul dengan sore hari 25%, malam 21% dan pagi 17%.
Maka tak heran, apabila kasus pelecehan seksual marak terjadi di sekitar kita. Parahnya lagi, spekulasi publik yang sering kali salah kaprah dengan menyalahkan dan menyudutkan korban pelecehan seksual sebagai cikal bakal terjadinya kasus pelecehan seksual.
Karena mayoritas korban dari kasus pelecehan seksual adalah perempuan. Maraknya hal tersebut telah menyebabkan opini publik yang berbeda tentang masalah ini.
Menjadi perempuan memanglah sulit. Kita sering kali menjadi ‘Korban’ yang dirundung dengan berbagai macam stigma yang berlalu lalang, mendapatkan perlakuan tidak adil dari publik maupun dari pandangan hukum.
Baca Juga: VIRAL! Wanita Diminta Foto Pakai Legging Dibayar Rp 400 Juta, Modus Baru Pelecehan Seksual
Peristiwa ini bisa kita sebut dengan victim blaming atau menyalahkan si korban, dimana posisi ‘korban’ dianggap sebagai alasan terjadinya kasus pelecehan tersebut.
Namun tidak dengan pria yang melakukan pelecehan tersebut dianggap wajar, karena merupakan naluri atau bahkan nafsu birahi lelaki tersebut disaat melihat wanita menggunakan pakaian seksi atau mini.
Tudingan dan komentar miring yang dilayangkan ini, tentu membuat si korban pelecehan seksual menjadi enggan untuk melaporkan kejadian karena hal tersebut. Para korban dari victim blaming tersebut memang melaporkan hal ini ke ranah hukum. Tidak sedikit dari kasus ini yang tidak diselidiki polisi.
Ketidakadilan ini membuat perempuan dipandang sebagai makhluk yang tidak berdaya dan lemah. Labelling atau pelabelan yang diberikan masyarakat ini sangat tidak etis.
Padahal, sebagai makhluk Tuhan, kita diciptakan sederajat (sebanding) dengan manusia lainnya. Selain itu, Indonesia masih terjebak dalam budaya patriarki dimana laki-laki memiliki kekuasaan lebih dari perempuan. Sangat miris bukan?
Budaya Victim blaming masih merajarela di Indonesia, selain karena budaya patriarki masih melekat di Indonesia, hukum tentang Undang-Undang Perlindungan Seks telah gagal memberikan perlindungan seksual kepada korban. Perlunya reformasi dan penyempurnaan undang-undang yang mengatur tentang perlindungan seksual.
Selain itu, Indonesia masih dalam keadaan darurat hukum tentang perlindungan seksual, karena KUHP hanya mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 285 sampai dengan 288 yang susunan katanya tidak sesuai untuk memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual. dan tidak ada satu pun Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang menjamin perlindungan khusus terhadap kekerasan seksual jika terjadi pelecehan seksual.
Budaya ini harus segera dihapuskan, meskipun tidak mudah dan membutuhkan peran serta banyak pihak. Hal ini dapat dimulai dan dijalankan oleh diri kita sendiri, oleh lingkungan di sekitar kita, sehingga kita perlu mendorong dunia hukum untuk berinovasi dan menyempurnakan hak atas perlindungan seksual. Lembaga penegak hukum juga harus dilibatkan, mulai dari menangani kasus serupa hingga menghukum kejahatan seksual.
Baca Juga: 'Aku Diperkosa', Aming Akui Depresi Berat Jadi Korban Pelecehan Sejak Kecil hingga Ingin Bunuh Diri