Faktor Victim Blaming
Salah satu faktor yang membuat viktimisasi tetap umum adalah peran gender masyarakat yang sangat terpisah. Mengutip penelitian Krisnani dan Wulandari, segregasi gender menghubungkan seks dengan kemampuan alami.
Pria, misalnya diasosiasikan dengan pemimpin yang mandiri dan kompetitif, berbeda dengan wanita, yang diasosiasikan dengan kasih sayang dan kepekaan. Hal ini memungkinkan maskulinitas yang membuat pria merasa lebih superior dari wanita.
Dalam konteks kekerasan seksual, perempuan distreotipkan 'menggoda', 'menarik perhatiaan', dan oleh karena itu korban dipersalahkan atas pelecehan seksual. Sehingga dalam kasus pelecehan seksual, korban dipersalahkan dan dinilai sebagai perempuan yang tidak baik/tidak bermoral.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan, victim blaming yang terjadi pada korban kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual, tidak dapat dilepaskan dari kontruksi masyarakat patriarki yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan.
Menurutnya, dalam masyarakat seperti ini, laki-laki memposisikan diri sebagai penguasa dan pengontrol perempuan, termasuk dalam memberikan nilai-nilai moral berdasarkan sudut pandang dan kepentingan laki-laki.
“Kondisi ini menyebabkan perbedaan peran gender yang melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan, termasuk stereotip,” kata Aminah
Dalam konteks kekerasan seksual, perempuan distereotipkan sebagai 'provokatif' dan 'mencolok', menyalahkan korban atas pelecehan seksual. Sehingga dalam kasus pelecehan seksual, korban dipersalahkan dan dinilai sebagai perempuan yang tidak baik/tidak bermoral.
"Sederhananya, muncul praktik standar ganda di sini. Laki-laki yang mengekspresikan hawa nafsu dan maskulinitasnya dirasa sah-sah saja. Kepercayaan membatasi peran dan hak perempuan menjadi salah satu kontribusi tingginya penganut mitos pemerkosaan," sambungnya.
Baca Juga: Menyikapi Teman atau Pasangan yang Suka Bersikap 'Playing Victim'
Padahal, victim blaming menyebabkan korban merasa tidak berdaya, sendirian dan diam tentang pelecehan seksual yang dialaminya. Di sisi lain, Victim Blaming menciptakan impunitas bagi pelaku.
“Penghakiman lebih diberikan kepada korban timbang pelaku. Pelaku atau laki-laki mendapatkan 'pemakluman' atau dinilai wajar melakukan pelecehan seksual, karena masyarakat patriarkis mengkontruksikan laki-laki harus maskulin dan agresif dalam aktivitas seksual. Sehingga ketika laki-laki melakukan serangan seksual dianggap sebagai hal biasa,” ujarnya.
Salah satu cara untuk berhenti victim blaming adalah dengan percaya dan memahami dampak pelecehan seksual terhadap korban. Cermati sebaik mungkin saat kita berada di posisi yang sama dengan korban. Dan posisikan diri kita dengan korban agar kita mengerti dimana letak masalahnya.
“Dengan demikian kita tidak ikut membenarkan pelecehan seksual terhadap siapapun, namun sebaliknya mendukung korban untuk mengklaim hak keadilan, kebenaran dan pemulihan,” ucap Siti Aminah Tardi, merangkum perkataan dan perspektifnya.
Baca Juga: Bikin Ngeri! 4 Zodiak Ini Suka Playing Victim dan Merasa Teraniaya