Jakarta,Sonora.Id - Media Survei Indonesia (MSI) melakukan survei terhadap para responden yang merupakan pemudik muslim, terkait putusan Mahkamah Agung (MA) 14 April 2022, yang mewajibkan pemerintah menyediakan vaksin halal.
Hasilnya, sebagian besar responden pemudik Muslim mendukung adanya putusan tersebut dan menginginkan pemerintah untuk segera menindaklanjuti putusan tersebut dengan menyediakan vaksin halal yang dikhususkan bagi umat Islam.
Hal itu disampaikan MSI dalam rilis survei bertajuk “Survei Opini Pemudik tentang Vaksin Halal”, di Hotel Sofyan, Tebet, Jakarta Selatan 13 Mei 2022.
Dalam survei tersebut, MSI bekerjasama menggandeng Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) dan melakukan survei pada tanggal 1 – 7 Mei 2022.
Pengambilan data melalui wawancara tatap muka responden menggunakan kuesioner yang tersimpan di aplikasi.
Total responden sebanyak 1.220 pemudik yang tersebar di titik-titik keberangkatan atau tempat peristirahatan pemudik, seperti Rest Area Tol Jakarta – Cikampek (Rest Area KM 57, KM 62), Rest Area Tol Jakarta – Merak (KM 43), Terminal (Kampung Rambutan, Kalideres, Pulogebang, Tanjung Priuk), Rest Area Motor Kedung Waringin Bekasi & Merak, Stasiun (Gambir, Senen), Bandara Soekarno Hatta, Pelabuhan (Merak dan Bakauheni).
Penentuan responden dilakukan secara non probabilistik dengan metode purposive sampling. Kriteria responden pemudik selain beragama Islam, adalah mereka yang berusia 17 tahun ke atas dan sudah divaksin covid-19.
Menurut Direktur MSI Asep Rohmatullah, mayoritas responden (87.8 persen) mendukung adanya putusan MA yang telah mewajibkan pemerintah menyediakan vaksin halal.
Hanya 1,1 persen responden yang menolak. Namun sayangnya, kata Asep, putusan MA nomor 31 P/HUM/2022 tersebut baru diketahui kurang dari seperempat responden (22,7 persen).
Dukungan publik, lanjut Asep, semakin dikuatkan dengan pendapat sebagian besar responden (78 persen) yang mengaku sangat kecewa apabila pemerintah tidak menjalankan putusan MA.
“Sebanyak 78,4 persen responden menyatakan sangat kecewa bila pemerintah tidak menjalankan putusan MA yang telah mewajibkan penyediaan vaksin halal untuk masyarakat Muslim. Hanya 7,6 persen responden yang mengatakan tidak kecewa. Sisanya, 14 persen tidak tahu/tidak menjawab,” tandas Asep.
Asep menegaskan, pemerintah akan terancam kehilangan kepercayaan publik apabila tidak segera menjalankan putusan MA.
Hal ini terkonfirmasi bahwa mayoritas responden (89,7 persen) lebih banyak memilih pendapat yang menyatakan bahwa pemerintah akan kehilangan kepercayaan jika tidak menjalankan putusan MA, dibanding pendapat sebaliknya yang menyatakan pemerintah tidak akan kehilangan kepercayaan publik jika tidak menjalankan putusan MA (2,4 persen).
“Bahkan hasil survei menunjukkan ada 57,8 persen responden yang sangat/cukup percaya jika ada mafia vaksin yang bermain, efek dari lambatnya pemerintah mengeksekusi putusan MA. Yang kurang/tidak percaya sebanyak 24 persen. Tidak menjawab, 18,1 persen,” ungkapnya.
Selain itu, Asep mengutarakan hampir semua responden (92,3 persen) juga setuju dan mendukung pendapat Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam yang mengatakan vaksin haram tidak boleh lagi digunakan dengan alasan apapun, pasca adanya putusan MA yang telah mewajibkan pemerintah vaksin halal untuk masyarakat muslim.
Hanya 0,2 persen yang tidak setuju dan tidak mendukung.
“Mayoritas responden (92,3 persen) setuju dan mendukung sikap MUI. Hanya 0,2 persen yang tidak setuju dan tidak mendukung. Sisanya, 7,6 persen tidak tahu/tidak menjawab,” terang Alumni UIN Jakarta ini.
Pendapat responden terhadap sikap MUI ini, lanjut Asep semakin ditegaskan dengan hampir seluruh responden (92,9 persen) yang juga setuju dan mendukung sikap YKMI terkait kewajiban pemerintah menyediakan vaksin halal dan menghentikan vaksin haram untuk warga Muslim.
Sisanya, 0,4 persen tidak setuju dan tidak mendukung sikap YKMI.
Mengenai siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap ketersediaan vaksin halal, Asep menambahkan, responden paling banyak menjawab Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pihak yang paling bertanggung jawab pada penyediaan vaksin halal (38.2 persen).
Kemudian yang menjawab Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebanyak 31,4 persen, lalu Ketua Komite Penanganan Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto (15,5 persen), Wakil Ketua Komite Penanganan Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Panjaitan (3,9 persen), Kepala BPOM, Penny K. Lukito (2,3 persen), pihak lainnya (0,4 persen). Tidak tahu/tidak menjawab (8,3 persen).
Asep mengutarakan, sejauh ini baru 37,3 persen responden yang mengetahui adanya vaksin halal dan haram. Sementara, yang tidak tahu sebanyak 62,3 persen.
Adapun jenis vaksin yang disebut sebagai vaksin yang haram atau tidak mendapatkan sertifikat halal oleh responden adalah AstraZeneca (23,5 persen), Sinovac (8,6 persen), Pfizer (8,2 persen), Moderna (7,5 persen), Johnson-Johnson (7,3 persen), Sinopharm (2,2 persen), Zifivax (1,5 persen), Merah Putih (0,4 persen). Tidak tahu/tidak menjawab (55,8 persen).
“Sedangkan jenis vaksin halal yang paling banyak disebut adalah Sinovac (51,3 persen). Kemudian, Merah Putih (22,8 persen), Zifivax (9,3 persen), AstraZeneca (7,3 persen), Pfizer (4,7 persen), Sinopharm (4,7 persen), Moderna (3,4 persen), Johnson-Johnson (1,1 persen). Tidak menjawab (33,4 persen)," katanya.
Saat responden ditanya lembaga manakah yang paling berhak mengeluarkan sertifikasi vaksin halal di Indonesia, Mayoritas responden (83,5 persen), kata Asep, menyatakan MUI.
Sedangkan responden yang menyatakan Kemenag RI ada 10,6 persen. Badan Halal (0,3 persen), pihak lainnya (0,1 persen). Tidak menjawab (5,5 persen).
“Dan apabila memang sudah ada vaksin halal, hampir seluruh responden (94,1 persen) menyatakan pemerintah wajib menyediakannya. Hanya 5,9 persen yang menyatakan pemerintah tidak wajib menyediakan. Terlebih Hampir semua responden (95,8 persen) lebih memilih vaksin halal di banding vaksin haram (0,3 persen), dan bila dipaksa untuk mendapatkan vaksin haram, sebanyak (84,1 persen) akan menolak. Yang mau menerima vaksin haram hanya (7,4 persen). Tidak tahu/tidak menjawab (8,5 persen)," ujar mantan peneliti LSI-Denny JA tersebut.
Selain berharap segera tersedianya vaksin halal, Asep menuturkan sebagian besar responden menginginkan vaksin halal tersebut diberikan secara gratis.
“Sebagian besar responden (72,6 persen) akan menolak divaksin jika harus berbayar atau tidak gratis. Hanya 14,7 persen yang mau divaksin meski harus membayar. Ada 12,7 persen yang tidak tahu/tidak menjawab,” ucapnya.
Terkait adanya informasi vaksin bersertifikat halal MUI seperti Sinovac, Zifivak, dan Merah Putih sedang diproduksi di Indonesia, Asep menuturkan, hanya (29,3 persen) responden yang mengetahui.
Selebihnya (70,7 persen) tidak tahu. Padahal dari responden yang mengetahui, mayoritas (95,8 persen) setuju dan mendukung diproduksinya vaksin halal tersebut sebagai karya anak bangsa. Hanya (1,9 persen) yang tidak setuju dan tidak mendukung.
“Dengan kata lain tingkat apresiasi publik terhadap diproduksinya vaksin halal seperti Sinovac dan lainnya sangat tinggi. Tidak menutup kemungkinan, semakin banyak yang tahu maka akan cenderung setuju dan mendukung,” ungkap Asep.
Sementara mengenai informasi yang menyebutkan adanya 50 juta lebih dosis vaksin mengandung material haram diperkirakan akan kadaluarsa pada bulan Mei tahun ini, Asep menjelaskan hanya 12,1 persen responden yang tahu. Sebaliknya, 87,9 persen mengaku tidak tahu terkait informasi tersebut.
“Dari responden yang menjawab tahu, mayoritas responden (86,5 persen) menolak jika 50 juta vaksin tersebut disuntikkan kepada masyarakat muslim. Hanya 10,8 persen yang tetap mau menerima. Dan 2,7 persen responden tidak menjawab,” ungkapnya.
Dari semua responden pemudik, Asep menyatakan sebanyak 50,7 persen responden menyatakan sudah divaksin booster. Kemudian yang divaksin 2 kali, 39,9 persen, dan yang baru 1 kali 9,5 persen.
“Umumnya, mayoritas responden (68,1 persen) mengatakan kurang setuju/tidak setuju sama sekali jika vaksin booster dijadikan syarat mudik lebaran. Sebanyak 22,5 persen responden menyatakan sangat setuju/cukup setuju. Tidak tahu/tidak menjawab 9,2 persen. Bahkan responden juga tidak setuju (79,3 persen) bila vaksin booster dijadikan syarat administratif untuk mendapatkan pelayanan publik seperti mengurus KTP, KK, sekolah anak, bantuan sosial, dan syarat-syarat lainnya. Yang sangat setuju/cukup setuju (15,6 persen), tidak tahu/tidak menjawab (5,1 persen),” ungkap Asep
Terkait dengan calon pejabat publik pada masa mendatang, Asep menerangkan adanya indikasi publik tidak mau memilih para calon tersebut yang terlihat tidak peduli pada kehalalan produk, termasuk kehalalan vaksin.
“Ada 63,3 persen responden yang tidak akan memilih calon presiden yang tidak peduli terhadap vaksin halal. Yang akan tetap memilih 3,3 perse. Ragu-ragu, 17,5 persen. Tidak menjawab 15,8 persen,” terang Asep.
Bukan saja pada konteks pencapresan, lanjut Asep, jawaban serupa juga terekam enggannya mayoritas responden (sekitar 65 persen) memilih partai serta caleg yang nampak tidak peka terhadap vaksin halal.