Sonora.ID - Film KKN di Desa Penari yang sedang ramai diperbincangkan sukses besar dengan meraih kurang lebih enam juta penonton di bioskop.
Film KKN di Desa Penari berawal dari utas misteri di Twitter yang kemudian diangkat ke layar lebar.
Penayangan film ini sempat tertunda berkali-kali karena kondisi bioskop saat pandemi yang tidak ideal.
Kini KKN di Desa Penari memegang posisi sebagai film horor Tanah Air terlaris sepanjang masa, mengungguli film Pengabdi Setan yang meraup 4,2 juta penonton.
Pencapaian ini tentunya sangat berpengaruh dan menjadi penanda baik untuk perfilman Indonesia yang sempat menurun akibat pandemi Covid-19.
Namun ini juga menggambarkan kecintaan kita yang begitu besar pada film bergenre horor.
Alasan kita gemar menonton film horor menurut psikologis
Film dengan genre horor memang membuat kesan menakutkan, namun selalu memiliki pangsa pasarnya sendiri.
Meski berbagai adegan menakutkan dan membuat ngeri, tetap saja kita penasaran untuk menyaksikannya.
Dalam riset Haiyang Yang, seorang psikolog asal Johns Hopkins University mengatakan ada beberapa alasan yang membuat kita menggemari film horor.
Pertama, kita cenderung menyukai film horor itu, baik karena setan, sosok pembunuh maupun adegan lainnya, untuk mendapatkan rangsanan.
Paparan tindakan menakutkan, atau bahkan antisipasi tindakan tersebut, dapat merangsang kita baik secara mental maupun fisik.
“Ketakutan dapat memicu pelepasan adrenalin, menghasilkan sensasi yang meningkat dan energy yang melonjak,” kata Yang, dikutip dari Harvard Business Review.
Baca Juga: Bakar Kalori Tanpa Olahraga, Nonton Film Horor Setara dengan…
Alasan lainnya adalah kita menonton film horor untuk mendapatkan pengalaman baru maupun menjalani realitas alternatif.
Hal itu bisa berkontribusi pada rasa pencapaian diri misalnya berani mengunjungi rumah hantu yang terkenal seram atau merasa lebih duniawi.
Selain itu, film horor juga memuaskan rasa ingin tahu kita tentang sisi gelas jiwa manusia.
Sebagai spesies yang secara inheren ingin tahu, banyak dari kita terpesona oleh kemapuan spesies kita sendiri.
“Mengamati alur cerita di mana actor harus menghadapi bagian terburuk dari diri mereka sendiri berfungsi sebagai studi karakter semu tentang bagian tergelap dari kondisi manusia,” ujar Yang.