Jambi,Sonora.Id - Wilayah Sumatera dikenal sebagai penghasil kelapa sawit dunia. Potensi ini harusnya mampu memaksimalkan kesejahteraan masyarakat. Nyatanya tidak demikian. Faktor literasi agar produktivitas kelapa sawit kembali meningkat.
Hal tersebut disampaikan Bupati Batang Hari, Muhammad Fadhil Arief ketika membuka talk show Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM), Kamis, (7/7/2022).
Produksi sawit di Batang Hari saat ini hanya tujuh kuintal per hektar tiap bulannya. Jauh dari kondisi ideal. Bupati Arief meyakini, jika masyarakat memiliki bekal pengetahuan dan informasi yang baik, petani sawit di Batang Hari sanggup menghasilkan tiga ton per hektar per bulan.
“Masyarakat Batang Hari 82% berprofesi sebagai petani sawit. Namun, justru perusahaan besar yang menikmati hasil dari sawit,” ungkap Bupati.
Oleh karena itu, Bupati Fadhil berpesan agar para petani sawit di Batang Hari meningkatkan pengetahuannya. Masyarakat harus sadar dan paham bahwa siapa pun akan tertinggal jika cepat beradaptasi. Itulah pentingnya memiliki kemampuan pengetahuan yang diperoleh dengan membaca.
“Di sinilah letak masalahnya. Pengetahuan petani wasit kita tidak cukup komprehensif. Kurang tahu bagaimana cara memilih bibit yang baik, cara menanam yang baik, membersihkan lahan yang baik, dan bagaimana membuat pupuk lebih efektif dan efisien,” terang Bupati.
Kehadiran perpustakaan yang baru saja diresmikan bersama Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas, Deni Kurniadi, diharapkan dapat menjadi tempat yang menarik masyarakat. Sarat dengan ragam kegiatan yang kekinian. Secara khusus, Bupati meminta pegawai pemerintah untuk aktif menjadi contoh agar masyarakat mau datang ke perpustakaan.
Perpustakaan sendiri menurut Deni Kurniadi mempunyai kewajiban untuk memfasilitasi kegiatan seluruh warga negara Indonesia. Posisi perpustakaan amat strategis dalam mewujudkan masyarakat pembelajar.
“Saat ini perpustakaan didorong untuk memberikan manfaat lebih bagi masyarakat lewat program transformasi layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial. Dengan tagline literasi untuk kesejahteraan, program ini sudah menyasar di 34 provinsi, lebih dari 300 kabupaten/kota dan 3.000 desa di Indonesia,” ujar Deputi.
Deni pun menegaskan, melalui kemampuan literasi yang baik akan berdampak pada kekuatan fondasi dalam membentuk cognitive skill, kepekaan sosial, serta produktivitas masyarakat. Literasi dibutuhkan agar Indonesia tidak lagi menjadi market dari negara-negara maju.
“Sumber daya alam suatu waktu akan habis, namun sumber daya manusia yang literat yang berkesinambungan yang dibutuhkan dalam pengembangan Iptek,” tukasnya.
Besarnya potensi yang dihasilkan dari kelapa sawit seharusnya mampu memperbaiki kesejahteraan. Apalagi Indonesia diketahui sebagai salah satu eksportir sawit terbesar dunia. Namun, potensi tersebut tergerus karena justru yang banyak diproduksi di Indonesia malah yang bernilai ekonomi rendah, seperti CPO dan PKO.
“Ada baiknya kita memfokuskan pada produk turunan dari sawit untuk dijadikan bahan kosmetik yang tidak kalah bernilai tinggi pula. Bahkan, pada 2045, Indonesia menargetkan menjadi pusat produsen dan konsumen produk turunan sawit dunia sehingga mampu menjadi penentu harga CPO global,” jelas Lektor Kepala Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Mursalin.
Pentingnya peran literasi terhadap kemajuan sebuah negara juga dijelaskan oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI, Tokyo, Jepang, Yusli Wardianto. Dunia internasional mengakui bahwa Jepang merupakan salah satu negara dengan literasi yang baik.
Budaya membaca di Jepang dibangun sejak dini.
Seluruh pihak terlibat tanpa terkecuali. Anak-anak di Jepang sejak lahir sudah mengenal buku. Kerennya lagi, pemerintah Jepang memiliki program memberikan hadiah buku kepada anak yang baru lahir.
“Mereka membagikan buku-buku kepada para ibu ketika mengantar anaknya untuk imuniasi pertama,” terang Yusli.
Pergerakan literasi di Jepang dimulai sejak abad ke-17, di mana Terakoya sudah berkembang di seluruh Jepang dan mencapai puncaknya pada era Restorasi Meiji. Jumlah Terakoya bahkan saat itu sudah mencapai lebih dari 15.000.
Terakoya adalah tempat anak-anak masyarakat biasa belajar membaca, menulis, dan berhitung. Hasilnya pada 1913, Jepang telah berhasil menjadi salah satu produsen buku terbesar dunia. Keberhasilan Jepang bukan tidak mungkin diikuti Indonesia. Apalagi Indonesia memiliki tidak kurang 164.610 perpustakaan. Jauh lebih tinggi dibandingkan Jepang yang hanya memiliki 3.360 perpustakaan.