Di mana data inflasi pada bulan Juni yang cukup tinggi sejak tahun 2017 lalu, juga memicu kekhawatiran terjadinya stagflasi, yang terlihat BI juga masih menahan suku bunga acuan sehingga berimbas makin tingginya risiko di pasar.
2. Melemahnya kurs dan tekanan arus modal asing
Menurut Bhima, kondisi likuiditas yang ada di dalam negeri sendiri juga bisa makin mengetat, jika pelemahan kurs ini terus terjadi.
Pasalnya, pelemahan kurs menunjukkan adanya tekanan arus modal asing yang keluar juga. Di mana, penekanan cadangan devisa akan terjadi disaat arus modal keluar mulai tinggi, serta kinerja ekspor komoditas mulai terkoreksi.
Selain itu, Bhima juga berpendapat, bahwa bank sentral juga harus mulai melakukan kenaikan suku bunga acuan sejalan dengan yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat atau The Fed yang secara agresif.
Baca Juga: Rupiah Tembus Rp15.000, Waspadai Inflasi karena Pelemahan Rupiah!
3. Dampak melemahnya Rupiah
Selanjutnya, Bhima menambahkan dengan terkaitnya pelemahan kurs ini dikhawatirkan dapat memicu “imported inflation” atau kenaikan biaya impor, khususnya di sektor pangan.
Sejauh ini pula, menurut Bhima, “imported inflation” belum dapat dirasakan, pasalnya produsen juga masih menahan harga pada tingkat konsumennya.
Di mana, ketika beban biaya impor bisa naik signifikan yang diakibatkan selisih kurs, maka imbasnya juga akan dirasakan ke konsumen.
Dampak pelemahan rupiah ini akan mendorong percepatan dari kenaikan suku bunga acuan sehingga Bank Indonesia perlu melakukan kenaikkan 25-50 BPS suku bunga untuk dapat menahan aliran modal keluar.
Namun, dengan menaikkan suku bunga acuan ini akan berimbas juga kepada UMKM, pelaku usaha korporasi, dan juga konsumen yang nantinya akan menyebabkan cicilan KPR dan kendaraan bermotor bisa lebih mahal dari sebelumnya.