“Contoh untuk trading (beli) batu bara di mulut tambang dengan profit 5% secara cash flow akan short karena dipotong 21%. Hal ini membuat operasional TIE tidak bisa maksimal. Kelebihan TIE yang memiliki jalan hauling dan pelabuhan menjadi tidak bisa dimanfaatkan,” papar Darwan.
Di tengah pemotongan yang memeberatkan itu, kata Darwan, program relaksasi yang diminta akhirnya disetujui. “Hal ini sangat membantu, namun sayangnya relaksasi hanya berjalan selama 3 bulan. Setelah itu disetop lagi,” terang dia.
Pada Desember 2020, kata Darwan, TIE dengan dibantu konsultan mengajukan usulan propasal restrukturisasi ke kreditur sindikasi.
“Pada dasarnya usulan tesebut meminta tenor menjadi 10 tahun dan memohon program relaksasi 2 tahun yang hanya membayar bunga minim saja,” ungkap Darwan.
Kemudian, lanjut Darwan, konsultan yang ditunjuk kreditur sindikasi mencoba membuat rumusan untuk mencari titik tengah restrukturisasi dengan klausul: tenor menjadi 7 tahun; 2 tahun pertama pembayaran bunga dan angsuran yang minim; kreditur sindikasi akan menempatkan Credit Restructuring Officer (CRO) untuk memonitor keria TIE; dan kreditur sindikasi mensyaratkan penjualan aset-aset TIE di luar jalan hauling dan pelabuhan.
Darwan menegaskan, posisi saat ini pihaknya masih terus bernegosiasi dengan kreditur sindikasi, khususnya Bank Mandiri, terkait proposal restrukturisasi.
“Pada dasarnya TIE tidak keberatan dengan usulan konsultan dari kreditur sindikasi,” ujarnya.
Per hari ini, tegas Darwan, sisa utang TIE ke kreditur sindikasi sekitar USD 300 juta. Ia berharap proporsal restrukturisasi pembayaran utang TIE segera disetujui kreditur sindikasi.
“Keinginan TIE adalah program restrukturisasi segera diketok secepatnya. Karena hal ini akan meningkatkan performance kerja TIE dengan luar biasa,” tegas Darwan optimis.
Sebagai contoh, lanjut dia, hasil pemotongan revenue yang 21% itu terkatung-katung di Bank Mandiri dan tidak bisa digunakan.
“Nganggur begitu saja, padahal TIE sangat membutuhkan cash flow. Selain itu TIE tidak bisa bekerja maksimal, tidak berani beli batu bara di mulut tambang karena selalu rugi cash flow,” kata dia.
Dengan kondisi harga batubara yang mulai bagus, kata Darwan, pada Januari 2022 TIE mengajukan proposal yang diharapkan menjadi terobosan.
“TIE akan melunasi semua utang-utangnya di akhir tahun 2024. Jadi pada dasarnya restrukturisasi cuma minta mundur 1 tahun, seharusnya wajar karena ada Covid,” ujar Darwan.
“Jadi kita lupain restrukturisasi dari konsultan yang memakan waktu 7 tahun. Ini cuma minta waktu tambahan 1 tahun saja dari pagu kredit yang ada,” tegasnya.
Namun, kata Darwan, sampai hari ini proposal restrukturisasi tersebut tidak ditanggapi oleh Bank Mandiri.
“Sedangkan 3 lenders yang lain setuju, dan masalah ini malah dijadikan kasus hukum oleh Bank Mandiri,” keluh Darwan.
Darwan pun membantah tuduhan yang menyebut TIE mengalami kredit macet. Sebab meski terlambat membayar di awal masa Pandemi Covid, TIE telah membayar angsuran sejak tahun 2021 hingga saat ini dan akan terus melakukan pembayaran pinjaman.
Pada tahun 2021 PT Titan telah membayar lebih dari USD 46 juta dan USD 35 juta di tahun 2022. Sementara jatuh tempo utang terbilang masih cukup lama yakni akhir tahun 2023.
“Tahun ini, TIE juga akan kembali mencicil pinjaman. Kami hanya minta keringanan waktu penyelesaian pelunasan selama satu tahun saja,” tutup Darwan.