Jakarta,Sonora.Id - PT Titan Infra Energy (TIE) akhirnya buka suara mengenai persoalan pinjaman pihaknya ke kreditur sindikasi, menyusul demonstrasi Aliansi Warga Muara Enim-Lahat ke Plaza Mandiri di Jakarta, baru-baru ini.
Direktur Utama TIE, Darwan Siregar, membenarkan perusahaan mendapatkan fasilitas pinjaman dari kreditur sindikasi, yakni Bank Mandiri (60%). Selebihnya adalah CIMB Niaga (20%), Credit Suisse Singapore (10%) dan Trafigura (10%).
“Pada 28 Agustus 2018, TIE mendapatkan fasilitas loan dari sindikasi lenders sebesar USD 450 Juta. Utang ini berjangka waktu 5 tahun,” kata Darwan, Kamis (14/7/2022).
Dalam perjalanannya, kata Darwan, manajemen TIE melihat bahwa eksposur kredit terlalu tinggi maka diputuskan untuk menjual sebagian aset yang digunakan untuk agunan guna mengurangi pinjaman. Untuk diketahui, seluruh aset yang TIE agunkan nilainya jauh lebih besar dari pinjaman yang diberikan kreditur sindikasi.
“Keputusan manajemen TIE untuk menjual aset agar exposure loan tidak terlalu tinggi semata-mata bentuk kehati-hatian dan tanggung jawab kami sebagai debitur, untuk semaksimal mungkin menghindari gagal bayar,” kata Darwan.
Dia melanjutkan, keputusan penjualan aset tersebut mendapat respons yang positif dari 3 kreditur sindikasi, kecuali Bank Mandiri.
“Namun sayangnya setelah ditunggu-tunggu baru bulan Februari 2020, didapat jawaban dari Mandiri kalau permohonan tersebut ditolak,” ujarnya.
Setelah ditolak, kata Darwan, manajemen TIE kemudian memutuskan menjual aset lainnya, dan disambut positif oleh 3 kreditur sindikasi.
“Tapi jawaban dari Mandiri lambat sekali. Baru bulan Maret 2020 permohonan penjualan ini disetujui dengan syarat harus ada top up dana lagi. Sementara, bulan Maret 2020 situasi pandemi Covid sudah merebak, maka calon pembeli mengundurkan diri dan perusahaan juga tidak bisa melakukan top up dana seperti yang diminta. Maka otomatis transaksi batal,” papar Darwan.
Sebelum akhirnya transaksi batal, kata Darwan, manajemen TIE pada Februari 2020 sebenarnya sudah mempersiapkan corporate action untuk melakukan penjualan saham perdana (IPO).
“Namun sayangnya Covid datang, maka corporate action in tidak bisa dijalankan,” sebutnya.
Dengan datangnya Covid di awal 2020, kata Darwan, harga batu bara jatuh dan ekspor pun ditutup karena sejumlah negara importir besar, seperti China dan India, sedang lock down.
“TIE tidak sanggup lagi membayar angsuran pokok. Tetapi angsuran bunga masih dibayarkan terus setiap bulan sampai kuartal III/2020,” ungkap Darwan.
“Penjualan aset yang tidak disetujui dan tidak teriadi, serta rencana IPO yang berantakan membuat kondisi perseroan pada 2020 sangat sulit,” imbuhnya.
Dalam kondisi tersebut, kata Darwan, manajemen TIE mulai menunjuk konsultan untuk membantu mengatasi kesulitan perseroan serta membantu membuat program restrukturisasi yang “bear”.
“Sedangkan para lenders setuju untuk mengangkat konsultan untuk kepentingan mereka,” ucap Darwan.
Di tengah proses itu, sebut Darwan, pada kuartal III/2020 TIE mengajukan program relaksasi ke kreditur sindikasi yaitu permohonan untuk tidak membayar bunga dan tidak membayar pokok selama 3 bulan. “Sambil menunggu hasil program restruskturisasi hutang secara keseluruhan,” lanjutnya.
Darwan menambahkan, dalam operasional sehari-hari semua revenue dari TIE dan anak usahanya di-“trap” di akun Bank Mandiri.
“Masalah utama yang terjadi adalah setiap revenue yang masuk akan dipotong sebesar 21% baru sisanya di lepas ke akun operational. Tujuan pemotongan ini adalah untuk nantinya membayar bunga dan angsuran pokok,” ujar Darwan.
Dalam situasi usaha yang sulit, kata Darwan, pemotongan ini menjadi jelas sangat memberatkan perseroan. Dia menjelaskan, TIE yang tadinya bisa menambah pendapatan dengan trading atau beli batu bara di mulut tambang menjadi kesulitan.
“Karena dengan kondisi Covid profit turun drastis, dan cash jadi short,” tuturnya.
“Contoh untuk trading (beli) batu bara di mulut tambang dengan profit 5% secara cash flow akan short karena dipotong 21%. Hal ini membuat operasional TIE tidak bisa maksimal. Kelebihan TIE yang memiliki jalan hauling dan pelabuhan menjadi tidak bisa dimanfaatkan,” papar Darwan.
Di tengah pemotongan yang memeberatkan itu, kata Darwan, program relaksasi yang diminta akhirnya disetujui. “Hal ini sangat membantu, namun sayangnya relaksasi hanya berjalan selama 3 bulan. Setelah itu disetop lagi,” terang dia.
Pada Desember 2020, kata Darwan, TIE dengan dibantu konsultan mengajukan usulan propasal restrukturisasi ke kreditur sindikasi.
“Pada dasarnya usulan tesebut meminta tenor menjadi 10 tahun dan memohon program relaksasi 2 tahun yang hanya membayar bunga minim saja,” ungkap Darwan.
Kemudian, lanjut Darwan, konsultan yang ditunjuk kreditur sindikasi mencoba membuat rumusan untuk mencari titik tengah restrukturisasi dengan klausul: tenor menjadi 7 tahun; 2 tahun pertama pembayaran bunga dan angsuran yang minim; kreditur sindikasi akan menempatkan Credit Restructuring Officer (CRO) untuk memonitor keria TIE; dan kreditur sindikasi mensyaratkan penjualan aset-aset TIE di luar jalan hauling dan pelabuhan.
Darwan menegaskan, posisi saat ini pihaknya masih terus bernegosiasi dengan kreditur sindikasi, khususnya Bank Mandiri, terkait proposal restrukturisasi.
“Pada dasarnya TIE tidak keberatan dengan usulan konsultan dari kreditur sindikasi,” ujarnya.
Per hari ini, tegas Darwan, sisa utang TIE ke kreditur sindikasi sekitar USD 300 juta. Ia berharap proporsal restrukturisasi pembayaran utang TIE segera disetujui kreditur sindikasi.
“Keinginan TIE adalah program restrukturisasi segera diketok secepatnya. Karena hal ini akan meningkatkan performance kerja TIE dengan luar biasa,” tegas Darwan optimis.
Sebagai contoh, lanjut dia, hasil pemotongan revenue yang 21% itu terkatung-katung di Bank Mandiri dan tidak bisa digunakan.
“Nganggur begitu saja, padahal TIE sangat membutuhkan cash flow. Selain itu TIE tidak bisa bekerja maksimal, tidak berani beli batu bara di mulut tambang karena selalu rugi cash flow,” kata dia.
Dengan kondisi harga batubara yang mulai bagus, kata Darwan, pada Januari 2022 TIE mengajukan proposal yang diharapkan menjadi terobosan.
“TIE akan melunasi semua utang-utangnya di akhir tahun 2024. Jadi pada dasarnya restrukturisasi cuma minta mundur 1 tahun, seharusnya wajar karena ada Covid,” ujar Darwan.
“Jadi kita lupain restrukturisasi dari konsultan yang memakan waktu 7 tahun. Ini cuma minta waktu tambahan 1 tahun saja dari pagu kredit yang ada,” tegasnya.
Namun, kata Darwan, sampai hari ini proposal restrukturisasi tersebut tidak ditanggapi oleh Bank Mandiri.
“Sedangkan 3 lenders yang lain setuju, dan masalah ini malah dijadikan kasus hukum oleh Bank Mandiri,” keluh Darwan.
Darwan pun membantah tuduhan yang menyebut TIE mengalami kredit macet. Sebab meski terlambat membayar di awal masa Pandemi Covid, TIE telah membayar angsuran sejak tahun 2021 hingga saat ini dan akan terus melakukan pembayaran pinjaman.
Pada tahun 2021 PT Titan telah membayar lebih dari USD 46 juta dan USD 35 juta di tahun 2022. Sementara jatuh tempo utang terbilang masih cukup lama yakni akhir tahun 2023.
“Tahun ini, TIE juga akan kembali mencicil pinjaman. Kami hanya minta keringanan waktu penyelesaian pelunasan selama satu tahun saja,” tutup Darwan.