Banjarmasin, Sonora.ID – Genap 26 tahun pasca terjadinya tragedi penyerangan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 silam, para kader partai yang sekarang bernama PDI Perjuangan itu masih berduka hingga sekarang.
Menyusul belum adanya kejelasan terkait siapa aktor intelektual di balik tragedi yang juga dikenal dengan nama ‘Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli’ atau Kudatuli itu.
Sebagai salah satu momentum pengingat tragedi tersebut, pada Selasa (26/07) malam lalu, DPD PDI Perjuangan Kalimantan Selatan menggelar tahlilan dan doa bersama untuk mengenang para korban.
Di mana berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM saat itu, tercatat ada 5 orang meninggal dunia, 149 orang mengalami luka-luka dan 23 orang lainnya dinyatakan hilang.
Baca Juga: PDI Perjuangan ingin Aktor Intelektual Kudatuli Harus Dituntut di Muka Hukum
Sekretaris DPD PDI Perjuangan Kalimantan Selatan, Muhammad Syaripudin mengungkapkan, kegiatan kali ini dikemas dalam bentuk sarasehan sejarah politik sebagai bentuk pengingat atas peristiwa kelam tersebut.
“Peristiwa tersebut hingga kini belum terungkap aktor dibaliknya, padahal sudah 26 tahun yang lalu,” tuturnya kepada Sonora.ID.
Ia menilai, kejadian itu menjadi pengingat agar ke depannya tidak terulang kembali dan merugikan banyak pihak.
Bang Dhin, sapaan akrabnya, menambahkan bahwa peringatan tragedi Kudatuli tahun ini dilakukan serentak di seluruh daerah, baik DPD maupun DPC.
Harapannya sama, yakni agar aktor intelektualnya dapat terungkap sehingga ada kejelasan bagi keluarga korban yang ditinggalkan selama hampir tiga dekade terakhir.
Tragedi Kudatuli berawal dari dualisme yang terjadi di kepengurusan PDI saat itu karena ada dugaan intervensi pemerintah.
Di mana 16 fungsionaris partai memisahkan diri dan menggelar kongres tandingan di Medan, Sumatera Utara, serta tidak mengakui kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum.
Padahal berdasarkan hasil kongres di Surabaya, Jawa Timur pada 1993, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Sementara hasil kongres tandingan yang digelar tiga tahun berikutnya, justru memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum.
Kondisi itu menjadi penyebab dari berbagai insiden hingga akhirnya terjadi penyerangan pada 27 Juli 1996 yang memperebutkan kantor PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Bentrokan antara kedua kubu tidak dapat dihindari yang berujung pada kerusuhan dan timbulnya korban jiwa serta kerusakan fasilitas umum di sekitar kawasan tersebut.