"Pengemasannya harus menarik terlebih di era daring seperti penggunaan digital story telling, foto, film, literarasi, dan data pendukung lainnya," papar Septiawan.
"Jadi ada mekanisme tertentunya dalam pemanfaatan teks, audio-visual. Lalu apakah juga mengandung nilai pendidikan atau wawasan yang sesuai dengan fakta dan logika," paparnya lagi.
Diketahui seminar tersebut juga ya menghadirkan tim Jawa Barat Sapu Bersih Hoaks (Jabar Saber Hoaks - JSH). Satuan unit kerja di bawah Pemprov Jabar yang dinilai aktif dalam menanggapi isu-isu tak bertanggungjawab yang kerap berseliweran di media sosial.
Septiawan pun tidak menampik adanya keraguan atas kinerja JSH dalam menjalankan tugasnya karena bukan lembaga independen.
Hanya saja, lanjut Septiawan, merujuk pada hasil penelitian selama 2,5 bulan yang melibatkan 264 responden, hasilnya bertolak belakang. Penelitian dilakukan pada saat masih pandemi Covid-19 sehingga isu kesehatan mendominasi.
"Safety-nya cukup tinggi hingga 80 persen. Karena, yang menjadi penilaian adalah respon emosional apakah bergairah, tambah cemas atau takut, atau malah ketertarikannya tinggi. Tapi ini timbulkan hal positif, JSH cukup krebibel dalam menangani hoaks, angkanya di luar dugaan," katanya.
Sementara itu, pengamat komunikasi politik, Karim Suryadi mengingatkan perlunya penelitian lebih lanjut. Pasalnya, selama pandemi, ada kecenderungan tingkat kepercayaan kepada masyarakat kepada pemerintah dalam penanganannya memang cenderung meningkat.
Meski demikian, sebagai unit kerja, pihaknya mengapresiasi terobosan atas langkah membentuk lembaga yang khusus menangani hoaks.
"Tinggal bentuk counter naratifnya saja, apakah melalui klarifikasi sumber. Buat narasi yang benar, tandingan tapi tentu tak menciptakan hoaks baru, karenanya narasinya tak boleh disiapkan setengah matang, hindari ketergesaan, jangan malah sifatnya penyangkalan yang menjadi penanda itu benar adanya," ucapnya.
Baca Juga: Pemkot Bandung dan 10 Kota/Kabupaten di Jawa Barat Raih BKN Award 2022