Sonora.ID – Melindungi sebuah negara bukanlah hal yang mudah.
Itulah sebabnya setiap negara pasti memiliki aparatur penegak hukum seperti polisi dan tentara yang berfungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman berbahaya.
Sepanjang perjalanan melindungi tanah air, polisi dan tentara melahirkan jendral yang paling disegani di Indonesia.
Bukan tanpa alasan, para jendral tersebut terkenal berkat jasa mereka melawan para penjajah, hingga kasus-kasus berbahaya lain yang mengancam nyawa.
Siapa sajakah para jendral tersebut? Melansir dari berbagai sumber, berikut 7 jendral yang paling disegani di Indonesia.
Baca Juga: 6 Jendral Perang Paling Ditakuti yang Tak Pernah Kalah Perang Sepanjang Sejarah Islam
Jenderal Soedirman
Jenderal Besar TNI (Anumerta) Soedirman merupakan salah satu tokoh besar tanah air.
Dilansir dari situs resmi Pusat Sejarah TNI, Soedirman dianugerahi Pangkat Kehormatan Jenderal Besar TNI pada 30 September 1997.
Disebutkan, penganugerahan Pangkat Jenderal Berbintang Lima ini adalah sebuah peristiwa yang sangat istimewa.
Karena, hanya diberikan kepada prajurit yang sangat berjasa kepada bangsa dan negara.
Soedirman dilantik menjadi Panglima Besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Jenderal oleh presiden Soekarno pada 18 Desember 1945.
TKR sendiri kemudian berganti nama menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada 24 Januari 1946.
Berbicara tentang Soedirman, maka masyarakat akan diingatkan tentang kisah gerilyanya selama 7 bulan demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Saat itu, ia tengah berada dalam kondisi sakit hingga harus ditandu anak buahnya.
Setelah berjibaku berbulan-bulan, perang antara TNI dan rakyat melawan tentara Belanda itu berhasil menciutkan nyali pasukan Belanda hingga mundur.
Soedirman menghembuskan nafas terakhir pada 29 Januari 1950 karena kondisi kesehatannya yang sangat memburuk.
Muhammad Idjon Djanbi
Idjon Djanbi awalnya bernama Rokus Bernandus Visser. Warga negara Belanda ini bergabung dengan tentara Belanda yang mengungsi ke Inggris.
Dia pernah bergabung dalam operasi Market Garden yang dilakukan sekutu untuk merebut Belanda tahun 1944.
Setelah itu Visser ikut melakukan operasi amphibi bersama pasukan sekutu.
Karena prestasinya, Visser naik pangkat jadi letnan. Pemerintah Belanda mengirimnya ke Indonesia ketika Jepang kalah dan Belanda ingin berkuasa kembali.
Visser menjadi komandan sekolah terjun payung Belanda di Indonesia dengan pangkat kapten.
Setelah perang usai, Visser yang sejak awal bersimpati pada Indonesia memilih pensiun sebagai serdadu.
Dia menikah dengan seorang wanita Sunda, kemudian masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Mohammad Idjon Djanbi.
Sarwo Edhie Wibowo
Selama di TNI, karier Sarwo Edhie sangat bersinar. Dia pernah menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945-1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953).
Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961), Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (1962-1964), dan Komandan RPKAD (1964-1967).
Jabatan terakhir ini diembannya berkat bantuan Ahmad Yani. Ketika itu, Yani yang telah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dan menginginkan seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD.
Maka, diangkatlah Sarwo Edhie sebagai komandannya.
Tugas pertama yang dilakukan Sarwo Edhie dan pasukannya adalah mengangkat jenazah yang dibunuh PKI dalam peristiwa G30S.
Kemudian, dia bergerak untuk membasmi organisasi tersebut Jawa Tengah.
Akibat tugas itu, di hadapan DPR tahun 1989, Sarwo Edhie mengaku peristiwa tersebut telah menewaskan 3 juta orang.
Laksamana RE Martadinata
Raden Eddy Martadinata atau yang lebih dikenal dengan R.E Martadinata merupakan pahlawan nasional Indonesia, yang juga berjasa dalam TNI terutama TNI AL (Angkatan Laut).
Ia lahir pada Maret 1921 di Lengkong Besar, Bandung.
Mengutip informasi dalam laman Pusat Sejarah TNI, R.E Martadinata menggalang persatuan dan kekuatan demi menyongsong kemerdekaan, bersama beberapa pelaut lain seperti Suparlan, Achmad Hadi dan Untoro Kusmardjo.
Hingga akhirnya, BKR atau Badan Keamanan Rakyat Laut Pusat terbentuk di Jakarta pada 10 September 1945.
Martadinata ditunjuk sebagai pimpinan laut BKR-Banten, dan bertugas membendung masuknya tentara asing ke pulau Jawa.
BKR Laut resmi berubah nama menjadi TKR Laut, ketika lahirnya TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945.
Sebulan kemudian, nama itu berubah lagi menjadi ALRI atau Angkatan Laut Republik Indonesia.
Martadinata adalah salah satu tokoh dibalik terbentuknya ALRI. Keinginannya yang kuat untuk membangun ALRI terlihat ketika ia mengusulkan gagasan dilakukannya pendidikan profesional untuk ALRI.
Laksamana R.E Martadinata gugur pada 6 Oktober 1966, tepat sehari setelah perayaan HUT TNI.
Ketika itu, helikopter yang ia kemudikan jatuh di Puncak, Jawa Barat. Dirinya diangkat sebagai pahlawan Nasional, berdasarkan surat keputusan Presiden RI no. 22 tahun 1966.
Brigjen Slamet Riyadi
Slamet merupakan orang yang pertama kali mencetuskan ide dibentuknya Kopassus, pasukan elit kepunyaan TNI AD.
Slamet menginginkan adanya satuan yang bisa bergerak tepat dan cepat denga peralatan mumpuni di lapangan.
Sehingga, bisa lebih siap menghadapi musuh di medan pertempuran.
Akan tetapi, gagasan dan keinginan itu baru bisa diimplementasikan oleh Alex Kawilarang pada 16 April 1952.
Sebab, Slamet gugur saat pertempuran RMS di Ambon pada 4 November 1950.
Setelah wafat, ia dikebumikan di kebun kelapa di sekitaran wilayah Ambon. Jasadnya baru dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan, Ambon setelah kondisi di tempat itu kondusif.
Sintong Panjaitan
Operasi tempur pertamanya dijalani pada Agustus 1964-Februari 1965 untuk menumpas pergerakan gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Selanjutnya, dia mengikuti pendidikan dasar komando di Pusat Pendidikan Para Komando AD di Batujajar.
Atribut Komando diperolehnya di Pantai Permisan pada 1 Agustus 1965, dan kembali ke Batujajar untuk pendidikan dasar Para dan mengalami 3 kali terjun.
Sintong Panjaitan adalah pemimpin Grup-1 Para Komando yang terjun dalam operasi kontra-terorisme pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla.
Operasi ini dijalankan saat berpangkat letnan kolonel. Walaupun terdapat dua korban jiwa, operasi itu dinilai sukses, sehingga ia beserta tim-nya dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat.
Keterlibatannya dalam operasi militer di daerah Timor Timur membuat Sintong diangkat menjadi Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana yang mencakup Provinsi Timor Timur.
Jenderal A.H Nasution
Di tubuh TNI AD, Nasution terkenal sebagai seorang pemikir dan konseptor ulung.
Menurut Pusat Sejarah TNI, Nasution memiliki beberapa gagasan dalam rangka pembangunan TNI.
Diantaranya adalah konseptor perang gerilya, konseptor operasi penumpasan PKI Madiun 1948, memimpin MBKD (Markas Besar Komando Djawa) pada masa agresi militer II Belanda, pemerkasa politik “Kembali ke UUD 1945”, dan perumus Konsepsi Jalan Tengah.
Nasution juga berperan dalam pembebasan Irian Barat dengan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Belanda sebagai langkah awalnya.
Karena kemampuannya yang luar biasa itulah, Nasution mendapat penghargaan dari beberapa universitas.
Gelar Doktor diterimanya dari Universitas Padjadajaran dan Universitas Islam Sumatera Utara.
Sementara itu, gelar Doktor Causa dalam bidang Politik Ketatanegaraan didapatnya dari Filipina.
Dalam peristiwa pemberontakan G30S/PKI, Nasution berhasil lolos dari kejaran Tjakrabirawa.
Ia adalah target yang paling diincar, sebab paling lantang menolak masuknya paham komunisme di tubuh TNI AD dan menolak para petani dipersenjatai.
Penganugerahan pangkat Jenderal Besar TNI diterimanya pada 30 September 1997 dan tertuang dalam Keppres No.46/ABRI/1997.
Baca Juga: Fantastis! Ini Jumlah Kekayaan Ferdy Sambo yang Ditaksir Melebihi Kekayaan Presiden!