Mangkunegara VII sendiri memang memiliki visi mencerdaskan bangsa. Sehingga dia banyak membangun sekolah, terutama sekolah dasar.
Sukarno menuturkan jika Van Deventer School tersebut ditujukan untuk siswi berusia 12-15 tahun. Uniknya, Van Deventer School tersebut mengajarkan berbagai keterampilan keputrian. Antara lain seperti menjahit, memasak, menyulam, membatik hingga menyetrika.
Sukarno membeberkan ketiga tempat tersebut punya peranan penting dalam sejarah pendidikan di Kota Solo.
“SMPN 5 Surakarta tak dapat dipisahkan dengan sejarah Mangkunegaran di bidang pendidikan,” kata Sukarno.
“Selain Kasunanan, di Solo dulunya Mangkunegaran punya peranan penting dalam sejarah pendidikan,” katanya.
Menurut Sukarno, ketiga sekolah tersebut sempat menjadi satu kompleks sekolah bangsawan atau HIS bernama Siswo, Sisworini, dan Van Deventer School. Adipati Arya Mangkunegaran VI saat itu mulai membuat sekolah di tahun 1912. Namun, di tahun 1940-an, lokasi tersebut pernah berturut-turut diambil alih tentara Jepang.
“Selain sempat diambil tentara Jepang, kompleks tersebut juga sempat dijadikan Asrama Tentara Belanda,” jelasnya.
Kedudukan tentara Belanda kala itu dimulai pada masa Agresi II sejak 20 Desember 1948. Setelah itu, sejak tahun 1950 HIS Siswo berubah statusnya menjadi SMPN 5 Surakarta. Lantaran ketiga bangunan itu adalah cagar budaya di Solo, maka Sukarno mengimbau kepada pihak-pihak terkait untuk melestarikannya.
Di Kota Bengawan sendiri, Sukarno menyebut total ada 170 cagar budaya. Hanya saja yang sudah selesai dikaji angkanya masih tertahan di 95.
Baca Juga: Penampakan Pasar Johar di Semarang Pasca Revitalisasi
“Kami bekerja melakukan pengkajian setiap setahun dengan 5 projek,” ujarnya.
“Pengkajian tersebut meliputi struktur, bangunan, Kawasan, situs hingga benda,” pungkas Sukarno.