Sonora.ID - Nama Maria Ulfah Soebadio mungkin agak asing di telinga anak-anak muda tanah air. Padahal dia adalah menteri wanita pertama di Indonesia lho.
Yuk kenalan lebih dengan siapa sosok Maria Ulfah Soebadio yang berjasa memperjuangkan nasib wanita.
Hajjah Raden Ayu Maria Ulfah atau Maria Ulfah Santoso atau Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo lahir pada 18 Agustus 1911.
Orang tua Maria Ulfah adalah Raden Mochammad Achmad dan Raden Ayu Chadidjah Djajadiningrat yakni saudara dari Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat dan Achmad Djajadiningrat.
Mochammad Achmad merupakan sebagian kecil dari orang Indonesia yang selesai menempuh pendidikan di HBS (setingkat SMA) pada awal abad ke-20. Dia kemudian menjabat sebagai Bupati Kuningan
Nama Santoso diambil dari nama suami pertamanya yang menikah pada 1848. Namun suami Maria Ulfa meninggal dunia.
Dia kemudian menikah lagi dengan Soebadio Sastrosatomo yang merupakan anggota KNIP, dan mengambil namanya sebagai nama belakang.
Perjuangkan Nasib Wanita hingga Jadi Menteri Wanita Pertama di Indonesia.
Dilansir laman resmi Kemdikbud, Maria Ulfah Soebadio merupakan wanita pertama yang meraih gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum dari Leiden University) dalam waktu empat tahun sejak 1929.
Saat di Belanda, dia kerap bertemu dan berbincang dengan sejumlah tokoh nasional, seperti Moh Hatta, Sjahrir dan lainnya.
"Hampir setiap ada kesempatan, para mahasiswa Indonesia berkumpul dan mengadakan diskusi," kata Maria, dikutip dari Harian Kompas, 16 April 1988.
Maria Ulfah mengenal Sjahrir melalui iparnya, Djoehana Wiradikarta. Dari situlah Sjahrir memberikan banyak pengaruh ideologis kepadanya. Maria pun ikut dalam rapat-rapat politik bersamanya.
Selepas lulus, Maria Ulfah kembali ke tanah air pada Desember 1933. Sejak Januari 1934, Maria Ulfah bekerja di kantor Residen Cirebon dengan tugas menyusun peraturan lalu lintas.
Selanjutnya Maria Ulfah pindah ke Jakarta dan mengajar di sekolah Muhammadiyah di Jalan Kramat Raya 49 pada September 1934 supaya terlepas dari ikatan sebagai pegawai pemerintah.
Maria Ulfah lebih senang bergabung ke organisasi yang memiliki cita-cita kemerdekaan bangsa.
Di masa pendudukan Jepang, Maria Ulfah sempat tergabung dalam Putera, tepatnya sebagai Majelis Pertimbangan yang dibentuk oleh Jepang pada 16 April 1943 dan dipimpin oleh Empat Serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Moh Hatta, Kyai Haji Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara.
Pada 1942-1945, dia diajak Prof. Soepomo untuk bekerja di Departemen Kehakiman untuk menerjemahkan undang-undang dan peraturan-peraturan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Inggris.
Setelah Indonesia merdeka, struktur pemerintahan diubah menjadi parlementer sehingga muncul jabatan perdana menteri. Saat itu Perdana Menteri terpilih adalah Sutan Syahrir. Sutan Syahrir mengangkat Maria Ulfah menjadi perwira penghubung antara pemerintah Republik Indonesia dengan kantor penghubung di Indonesia.
Pada saat Sutan Syahrir membentuk kabinet kedua pada 12 Maret 1946, Maria Ulfah diangkat menjadi Menteri Sosial yang bertugas melaksanakan proyek repatriasi tawanan perang Jepang yang masih tinggal di daerah Republik Indonesia.
Pengangkatan Maria Ulfah sebagai Menteri disebut untuk membantu pengurusan pengembalian tawanan interniran yang terdiri dari Belanda, Perancis dan keturunan Indo.
"Karena itu, Bung Sjahrir yang menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri RI mendesak saya menerima jabatan itu," kata Maria dalam Harian Kompas, 21 Desember 1980.
Maria juga mengungkap bahwa tujuan Sjahrir menunjuknya sebagai menteri untuk meyakinkan Sekutu bahwa Indonesia bukan boneka Jepang.
"Saya menerima tugas dari Bung Sjahrir demi kemanusiaan. Apalagi sebagian besar tawanan adalah wanita," kata Maria.
Ada banyak sekali peran Maria Ulfah Soebadio untuk nasib wanita di Indonesia.
Dia berperan penting di balik penetapan Hari Ibu pada 22 Desember.
Maria juga berperan dalam perjanjian Linggarjati, kesepakatan antara Indonesia dan Belanda mengenai status kemerdekaan Indonesia.
Maria berperan menjadikan Linggarjati 1946 sebagai lokasi perundingan setelah sempat mengalami buntu.
Maria jugalah yang memastikan keamanan saat proses perundingan terjadi.
Maria pernah ditawari jabatan sebagai Mensos di masa kabinet Amir Sjarifuddin, namun dia menolak.
Memperjuangkan Nasib Wanita
Tekad untuk memperbaiki kondisi hidup wanita Indonesia masih terus menggelora.
Pada Kongres Perempuan Indonesia (KPI) ke-2 pada 1935 di Jakarta diputuskan bahwa urusan wanita dalam hukum perkawinan Islam akan ditangani oleh Biro Konsultasi. Biro ini diurus sepenuhnya oleh Maria Ulfah. Tugas Maria Ulfah di Biro Konsultasi adalah melayani permasalahan keluarga. Maria Ulfah mengusulkan kepada Pengadilan Agama agar dapat mencantumkan hal-hal terkait alasan-alasan apa saja yang dapat dipakai oleh seorang istri agar dapat meminta cerai.
Pada KPI ke-3 di Bandung pada 23 – 27 Juli 1938, Maria Ulfah juga berjasa menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Dalam kongres ini, dia juga menyarankan untuk disusun Undang-undang Perkawinan untuk umat Islam.
Maria Ulfah juga berjasa memperjuangkan kesempatan kaum wanita tergabung dalam Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad) dengan cara menghadap Jenderal A.H. Nasution yang menjabat Kepala Staf Angkatan Darat. Hingga pada 22 Desember 1961 lahirlah Kowad.
Jasanya juga sangat luar biasa bagi dunia pers tanah air. Maria Ulfah membantu Adam Malik dalam mendirikan kantor berita Antara pada 1937.
Pada 15 April 1988 Maria Ulfah meninggal dunia di usia 76 tahun. Dia meninggal setelah menjalani perawatan akibat asma, lambung berdarah dan bronkitis yang dideritanya.
Begitulah sosok menteri wanita pertama di Indonesia, Maria Ulfah Soebadio.
Semoga perjuangannya untuk membela nasib wanita di tanah air bisa terus dilanjutkan oleh para penerusnya.