Sampai pada suatu hari, daerah itu dilanda kekeringan yang menyebabkan kebon kopi tumpuan keluarganya mengalami gagal panen. Dan kemudian, ayah Juani berhutang terhadap rentenir yang kaya untuk dapat memenuhi biaya hidup sehari-hari sampai dengan panen yang selanjutnya. Dan lama kelamaan, hutang ayahnya makin menumpuk karena tak mampu membayar pada saat ditagih.
Rentenir itu pun mengatakan ia akan menganggap hutang keluarga itu lunas apabila ayah Juani bersedia untuk menikahkan anaknya itu dengan putranya. Dan Juani dengan terpaksa setuju untuk menikah dengan anak rentenir itu. Anaknya itu bernama Bujang Juandan. Walaupun menikah dengan anak yang kaya, tapi itu semua tak membuatnya merasa bahagia. Karena lelaki tersebut menderita penyakit kulit yang tak dapat disembuhkan yang ada di sekujur tubuhnya.
Pada hari pernikahannya, Juani merasa tak sanggup lagi apabila harus meneruskan acara itu. Dan di kepalanya sudah membayangkan ia akan dicemooh orang-orang karena sudah menolak sejumlah lelaki tampan dan pada akhirnya ia malah menikah dengan lelaki yang berpenyakitan. Ia pun merasa putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan terjun ke sungai yang sangat dalam.
Dan beberapa saat kemudian, keluarganya menyadari yang terjadi. Tetapi semuanya talh terlambat. Keesokan harinya, mayat gadis itu ditemukan sudah tak bernyawa. Dan konon, sejak kematiannya, di sungai itu terdengar suara dari seorang gadis yang meminta tolong dan menangis.
Baca Juga: 3 Contoh Teks Khutbah Jumat Singkat Beragam Tema, Lengkap!
4. Abdullah
Abdullah adalah keturunan keluarga yang terpelajar. Datuknya bernama Syekh Abdul Qadir, seorang Arab dari Yaman, yang menjadi guru agama dan bahasa. Ia bertempat tinggal di Nagore, Keling, dan kawin dengan seorang wanita Keling. Kakak Abdullah merantau ke Malaka. Di sana ia kawin dengan seorang anak syekh.
Istri syekh itu mengepalai suatu sekolah yang banyak siswanya. Ayah Abdullah bernama Abdul Qadir juga. Ia menjadi guru agama dan bahasa. Di samping itu, ia juga menjadi pembantu Tuan Marsden yang terkenal dengan karya-karya gramatika dan leksikologinya. Ayah Abdullah juga seorang pedagang. Atas perintah orang Belanda, ia membeli tidak kurang dari enam puluh naskah Melayu.
Paman-paman Abdullah juga bekerja di bidang pengajaran di Malaka. Dari ibunya, dalam tubuh Abdullah mengalir darah India sehingga di Malaka lebih dikenal sebagai orang Keling. Dari perkawinan yang kedua, Abdul Qadir beranak lima orang putra, empat orang yang pertama meninggal dunia pada usia awal kanak-kanak.
Hanya Abdullah sendirilah yang masih hidup. Ia dalam keadaan lemah dan sering sakit. Agar dapat berusia panjang, sesuai dengan takhayul, Abdullah "dijual" kepada keluarga yang banyak anaknya. Abdullah menjadi sangat dimanjakan. Sampai usia 7 tahun ia hanya boleh bermain-main di rumah saja, dengan papan dan tinta.
5. Seorang Lelaki dan Rumah Sempit
Alkisah terdapat seorang lelaki yang datang ke rumah Abu Nawas. Pria tersebut ingin mengeluh kepadanya tentang masalah yang tengah dihadapinya. Ia pun merasakan sedih dikarenakan rumahnya sangat terasa sempit ketika ditinggali oleh banyak orang.
“Wahai Abu Nawas, Saya mempunyai seorang istri dan juga 8 orang anak tetapi rumah saya sangat sempit. Setiap harinya mereka mengeluh dan juga tidak nyaman tinggal di rumah itu. Kami pun ingin pindah dari rumah tersebut, tetapi kami tidak memiliki uang. Jadi tolonglah katakan kepadaku apa yang bisa aku lakukan,” tanyanya.
Mendengar pertanyaan lelaki yang sangat sedih tersebut, Abu Nawas pun berpikir sejenak. Dan tak berapa lama kemudian suatu ide lewat di kepalanya.
“Kamu memiliki domba di rumahmu?” Abu Nawas bertanya kepada lelaki tersebut. “Aku tidak menaiki domba maka dari itu aku tak mempunyainya.” jawab lelaki tersebut. Kemudian ketika mendengar jawabannya itu, Abu Nawas pun meminta lelaki itu untuk membeli seekor domba dan menyuruhnya agar menaruhnya di rumah.
Lelaki tersebut kemudian mengikuti usulan dari Abu Nawas dan ia pun pergi untuk membeli domba. Esok harinya, ia pun datang lagi ke rumah Abu Nawas. “Abu Nawas, bagaimana ni? Nyatanya rumahku sekarang semakin sempit dan juga berantakan”.
“Ya sudah kalau begitu kamu cobalah membeli 2 ekor domba lagi dan kamu dapat memeliharanya di rumahmu juga”. jawab Abu Nawas.
Dan kemudian pria itu itupun pergi kepasar dan juga ia membeli 2 ekor domba lagi. Tetapi hasilnya tak sesuai dengan harapannya karena rumahnya semakin terasa sempit.
Dengan sangat jengkel nya, Ia pun pergi menghadap Abu Nawas lagi untuk mengadukan masalah itu untuk yang ketiga kalinya. Ia pun menceritakan segala apa yang sudah terjadi, termasuk tentang istrinya yang menjadi marah-marah dikarenakan domba itu. Dan kemudian Abu Nawas menyarankan untuk menjualkan semua domba yang ia miliki.
Esok harinya, Abu Nawas dan lelaki tersebut bertemu lagi. Dan Abu Nawas menanyakannya “Bagaimana rumahmu sekarang? sudah merasa lega?”.
“Dan setelah aku menjual domba tersebut rumahku menjadi nyaman ketika di tinggali. istriku pun sudah tak lagi marah-marah” jawab lelaki tersebut seraya tersenyum. Dan pada akhirnya Abu Nawas bisa menyelesaikan masalah lelaki tersebut.
Baca Juga: 6 Contoh Teks Ceramah Singkat, tentang Pendidikan hingga Pergaulan Bebas
6. Malim Dewa
Malim Dewa adalah seorang putra raja. Ia menggantikan ayahnya sewaktu ayahnya pergi menunaikan ibadah haji. Ia bertunangan dengan tiga orang putri, hasil pencarian seekor burung nuri. Mereka ialah Nilam Cahaya, Gondan Gentasari, dan Andam Dewi. Andan Dewi dipinang juga oleh seorang raja lain. Karena pinangan itu tidak dikabulkan, oleh raja itu, ia dibuat sakit dengan ilmunya, bahkan negara Andam Dewi kemudian dihancurkannya.
Andam Dewi bersama ibunya terpaksa menyembunyikan diri. Malirn Dewa mencari Andam Dewi dan mengawininya, tetapi akibat perkawinan itu ia dibunuh oleh raja yang telah ditolak pinangannya. Malim Dewa dihidupkan kembali oleh Nilam Cahaya.
Kemudian ia mengawani Gondan Gentasari dan berkat kemenangannya dalam suatu peperangan ia juga mengawini dua putri yang lain. Perkawinannya yang terakhir ialah dengan putri Nilam Cahaya, yang dilakukan di dalam kayangan.
7. Patani
Phaya Tu Kerub Mahajana ialah raja di kota Maligai. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Phaya Tu Taqpa, yang kesenangannya berburu sebagaimana orang-orang besar pada masanya. Pada suatu ketika seekor pelanduk putih, yang tengah diburunya, menghilang di dekat tempat kediaman seorang tua yang bernama Eneik Tani. Diambil dari nama orang itulah, kerajaan yang didirikannya kelak di tempat itu diberi nama Petani.
Setelah Islam masuk, raja Phaya Tu Naqpa berganti gelar Sultan Ismail Syah Zillullah Fil Alam. Sejak saat itu seluruh rakyat Petani menjadi Islam. Sepeninggal baginda, pemegang kerajaan digantikan oleh putranya yang sulung, Sultan Mudhaffar Syah. Ia mengadakan hubungan persahabatan dengan Beracau, Raja Siam, dan bahkan memperoleh istri.
Dari istrinya ia beroleh seorang putra, Sultan Patik Siam. Namun, ia berkhianat terhadap Beracau. Beracau diturunkan dari takhta dan dipaksa meninggalkan istana. Akibat tindakan yang menimbulkan salah paham, ia beserta para pengiringnya dapat dikalahkan kembali sehingga Beracau kembali menduduki takhta kerajaan. Adiknya yang menyertainya, Manzur Syah, meninggalkan Siam. Namun, Mudhaffar sendiri tinggal di Siam dan tidak diketahui akhir kesudahannya.
Sultan Manzur Syah pun menggantikannya menjadi raja di Patani. Pada masa pemerintahannya, Patani dua kali berturut-turut diserang oleh Palembang. Namun, akhirnya serangan itu dapat digagalkan. Hubungan dengan Siam diperbaiki dengan mengirimkan suatu keputusan di bawah pimpinan Seri Agar.
Sepeninggal Sultan Manzur Syah terjadi kericuhan di dalam negeri untuk memperebutkan mahkota. Tiga orang raja yang memerintah sesudahnya, yaitu Sultan Patik Siam, Raja Bambang, dan Sultan Bahdur, berturut-turut mati terbunuh dalam intrik itu. Kemudian datanglah masa pemerintahan raja-raja putri, putri Sultan Manzur Syah, yaitu Raja Ijau, Raja Biru, Raja Ungu, Raja Emas, Raja Bima (pria), dan Raja Kuning, Raja Kuning adalah anggota dinasti Phaya Tu Kerub Mahajana yang terakhir. Kemudian dinasti Kelantan menduduki takhta Kerajaan Patani.
Baca Juga: 6 Contoh Teks Cerita Inspiratif beserta Strukturnya, Materi Kelas 9
8. Bayan Budiman
Di suatu negeri, hiduplah seorang tua bersama keluarganya. Pekerjaan orang tua itu sehari-hari adalah menangkap burung dan ayam di hutan. Ayam dan burung hasil tangkapannya lalu dijual di pasar. Uang hasil menjual ayam dan burung itulah yang dipakai untuk menghidupi keluarganya. Seperti biasanya, pada pagi hari orang tua itu bergegas pergi ke hutan.
“Aku ikut, Ayah,” pinta anak orang tua itu.
“Jangan, Nak!,” jawab orang tua itu.
“Aku ingin membantu Ayah menangkap ayam dan burung,” kata anaknya.
Orang tua itu tersenyum sambil mengelus kepala anaknya yang sudah remaja itu, lalu berkata, “Kau di rumah saja menemani ibumu. Ayah hanya pergi sebentar saja karena ayah tidak lagi mencari-cari burung atau ayam yang akan ditangkap. Kali ini ayah pergi ke hutan hanya untuk mengambil burung-burung yang sudah melekat di dahan-dahan dan ranting pohon.”
“Maksud Ayah burung-burung itu sudah pasti ada di pohon itu?” tanya si anak.
Ayahnya menjawab, “Ya, Nak. Kemarin siang ayah sudah mengolesi daun dan ranting dengan lem perekat di pohon yang paling besar. Burung-burung itu sekarang pasti sudah lengket di pohon itu. Jadi, pagi ini ayah tinggal mengambilnya saja.”
”Wah, pasti banyak burung yang Ayah bawa pulang nanti”, kata anaknya dengan mata berbinar-binar.
“Ya, kita lihat nanti. Sekarang ayah berangkat dulu, ya?”
Ketika sampai di hutan, orang tua itu langsung menuju sebuah pohon yang paling besar. Dilihatnya banyak burung bayan menempel di daun-daun dan ranting pohon itu. Ia segera melepas bajunya, lalu sambil membawa golok ia memanjat pohon besar itu. Sesampainya di atas, ia melihat burung-burung itu diam seperti sudah tak bernyawa, lalu diambilnya satu per satu dan dijatuhkannya ke tanah. Dalam waktu yang tidak lama, sudah ada 99 ekor burung bayan yang dijatuhkannya ke tanah. Ia melihat tinggal seekor lagi yang belum diambilnya karena burung yang satu itu menempel pada dahan yang lebih tinggi. Tatkala orang tua itu akan menjangkau burung itu, tiba-tiba golok yang dia selipkan di celananya terjatuh.
Burung bayan yang sudah berada di tanah mengira yang jatuh itu adalah temannya yang tinggal seekor lagi. Lalu, sesuai dengan rencana apabila sudah genap seratus yang dijatuhkan ke tanah, burung-burung bayan itu segera terbang bersama-sama. Bayan yang berjumlah 99 itu tidak tahu bahwa suara benda jatuh itu adalah sebuah golok, bukan teman. Alangkah terkejutnya orang tua itu mendengar dan melihat burung-burung bayan yang berjumlah 99 itu tiba-tiba berhamburan terbang menjauh. Ia merasa telah diperdaya oleh kawanan burung itu. Tinggallah seekor burung lagi yang masih menempel di daun. Karena tidak ingin tertipu lagi, burung bayan itu tidak dijatuhkannya ke tanah. Burung itu terus digenggamnya sampai ia turun dari pohon besar itu.
Sesampainya di bawah, ia berkata kepada burung itu, “Bangunlah, wahai, burung! Aku tahu kau hanya berpura-pura mati.” Burung yang tinggal seekor itu ternyata Raja Bayan. Burung itu membuka matanya tanpa berkata apa pun. Dalam perjalanan pulang, orang tua penangkap burung itu sedih hatinya karena membayangkan wajah anak dan istrinya yang kecewa akan hasil tangkapannya hari ini. Ia hanya dapat membawa pulang seekor burung. Padahal, burung yang terkena jebakannya sangat banyak.
9. Hang Tuah
Sekali peristiwa ada seorang raja keinderaan. Maka raja itu terlalu besar kerajaannya, pada segala raja indera seorang pun tiada menyamai dia; sekaliannya menurut titahnya baginda itu. Syahdan apabila baginda ke luar, dihadap oleh segala raja-raja dan menteri hulubalang, maka beberapa pedang yang sudah terhunus kepada kiri kanan baginda itu, dan beberapa puluh bentara yang memangku pedang yang berikatkan emas, bertatahkan ratna mutu manikam. Apabila baginda bertitah pada segala raja-raja dan menteri di kanan, maka bentara kanan menyampaikan titah baginda itu.
Maka apabila baginda memandang ke kiri bertitah, maka bentara kirilah menyampaikan titah baginda itu. Maka apabila baginda memandang ke kanan, maka segala raja-raja dan menteri sekalian menyembah, apabila baginda berpaling ke kiri, maka sekalian laja-raja dan menteri di kiri semuanya menyembah baginda itu. Adapun nama baginda itu Sang Pertala Dewa.
Adapun Sang Potala Dewa itu tahu akan dirinya akan memperoleh anak. Maka anaknya itulah akan menjadi raja di Bukit Siguntang. Maka dari pada anak cucu baginda itu, menjadi raja besar-besar pada akhir zaman. Maka tersebutlah pula perkataan seorang raja, terlalu besar kerajaannya;maka istri baginda itupun hamillah. Setelah genaplah bulannya, maka permaisuri pun betanaklah seorang perempuan, terlalu amat elok rupanya dan kelakuannya. Pada masa zaman itu, seorang pun tiada menyamai rupanya anak raja itu. Maka dinamai deh ayahanda bunda baginda tuan puteri Kemala Ratna Pelinggam. Maka dipeliharakan deh paduka ayahanda bunda baginda dengan sepertinya.
Syahdan maka paduka ayahanda bunda pun terlalu amat kasih akan anakanda baginda itu. Hatta berapa lama, maka beberapa anak laja-raja datanglah hendak meminang tuan puteri itu, akan tetapi tiada diberi oleh paduka bunda baginda, karena segala raja-raja yang hendak meminang itu tiada sama dengan bangsa baginda itu, karena bundanya itu raja keinderaan.
Baca Juga: 6 Contoh Teks Tanggapan Singkat beserta Strukturnya, Materi Kelas 9