Sonora.ID - Seiring berkembangnya zaman, hampir semua orang menggunakan media sosial, baik di kalangan orang dewasa maupun anak-anak.
Mayoritas masyarakat saat ini membutuhkan layanan internet untuk berkomunikasi. Sama halnya dengan dunia nyata, setiap orang dapat berkumpul dan berinteraksi di dunia maya. Salah satunya dengan menggunakan media sosial.
Media sosial merupakan wadah bagi masyarakat untuk bersosialisasi di dunia maya. Media sosial merupakan media daring yang digunakan para penggunanya untuk dapat berpartisipasi, berbagi dan menciptakan sesuatu hal dengan mudah.
Siapa saja dapat menggunakan media sosial untuk memberikan kontribusi dan timbal balik secara terbuka, serta dapat berbagi informasi dan pengetahuan dalam waktu yang fleksibel dan tak terbatas.
Media sosial dapat dimanfaatkan sebagai media komunikasi bagi negara satu dengan negara lainnya. Selain itu, media sosial juga dapat meliputi berbagai aspek, seperti hiburan, gaya hidup, bisnis, bahkan menjadi media pendidikan.
Baca Juga: Quiet Quitting, Fenomena yang Lagi Trend di Anak Muda dalam Dunia Kerja
Di samping banyaknya manfaat positif yang dimiliki oleh media sosial, ada pula dampak negatif yang dapat merugikan para penggunanya. Mulai dari kejahatan cyber-bullying, menjadi asosial, maraknya informasi palsu, hingga membuat hidup lebih konsumtif.
Salah satu fenomena yang tengah hangat kali ini ialah adanya flexing. Flexing adalah sikap seseorang yang senang memamerkan apa yang ia miliki dan dibagikan di media sosial secara berlebihan.
Flexing merupakan sebuah istilah yang di gunakan oleh kaum milenial untuk merujuk pada konten media sosial yang berisikan kegiatan pamer kekayaan dan kemewahan.
Perilaku flexing dinilai memberikan dampak negatif bagi pengguna media sosial lainnya. Perilaku itu hanya menimbulkan perbincangan dan kritik.
Selain itu, perilaku flexing atau suka pamer tidak mencerminkan etika yang baik dan melanggar norma yang ada dalam masyarakat.
Tak hanya menimbulkan perbincangan dan kritik bagi si pembuat konten, flexing juga dapat memberikan efek negatif bagi pengguna lain, seperti hilangnya rasa percaya diri, menjadi pribadi yang konsumtif, timbul rasa iri dan dengki, serta perilaku ikut-ikutan.
Apabila terus dibiarkan, fenomena ini dapat menggeser fungsi utama dari media sosial itu sendiri, yakni sebagai media untuk menyampaikan informasi yang bermanfaat bagi orang lain.
Untuk itu, perlu adanya kampanye terhadap fenomena yang tengah marak ini.
Kampanye terkait fenomena ini dapat membantu para pengguna media sosial untuk lebih cerdas, cermat dan bijaksana dalam menggunakan media sosial.
Fenomena flexing yang berdampak negatif menjadi masalah utama penulisan esai ini. Penulis ingin memberikan pengetahuan kepada para pengguna media sosial tentang bagaimana menjadi pengguna yang cerdas, cermat, dan bijaksana.
Baca Juga: Heboh Pamflet Nikah Massal Gratis, Ini Penjelasan Dinas Sosial Makassar
Maraknya penggunaan media sosial di kalangan masyarakat tentu harus diimbangi dengan pengetahuan yang baik, agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal negatif yang ditimbulkan media sosial itu sendiri. Untuk dapat menjadi pengguna media sosial yang cerdas, cermat, dan bijaksana, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini.
Pilah Sebelum Unggah
Mengunggah konten di akun media sosial perlu dilakukan secara hati-hati. Media sosial yang bersifat publik menjadi alasan yang pas untuk berhati-hati dalam mengunggah konten. Pengguna perlu mengetahui untuk siapa dan untuk apa konten diunggah. Jangan sampai konten yang diunggah menjadi hal buruk dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Akan lebih baik, bila konten yang diunggah justru bermanfaat bagi orang lain.
Lindungi Privasi
Era digital yang semakin berkembang, kejatahan di dunia maya juga semakin marak. Oleh karena itu, pengguna harus berhati-hati dalam memasukkan informasi pribadi, seperti lokasi, e-mail, nomor telepon, foto identitas pribadi, ataupun hal-hal yang bersifat pribadi lainnya. Kita tidak pernah tahu bahaya-bahaya apa saja yang sedang mengintai.
Menjaga Norma
Pengguna media sosial memang diberikan kebebasan. Akan tetapi, kebebasan tersebut tidak semata-mata memperbolehkan berperilaku semena-mena.
Pengguna perlu menjaga etika, sopan, dan santun, meskipun dalam dunia maya. Ucapan atau tulisan yang diunggah dalam media sosial tidak boleh mengandung unsur-unsur SARA.
Tak hanya itu, perilaku dalam video ataupun foto yang diunggah juga tidak boleh sesuka hati. Pengguna harus paham adab walaupun berinteraksi melalui dunia maya. Apalagi terdapat undang-undang mengenai penggunaan Informasi dan Transaksi Elektronik yang tertuang dalam UU no. 19 tahun 2016.
Batasi Akun-Akun yang Diikuti
Menilik perkembangannya, media sosial kini sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental para penggunanya.
Seingkali kita ‘terpana’ dengan kehidupan orang lain yang terlihat di media sosial, kemudian membandingkan dengan kehidupan pribadi. Namun, yang terlihat dalam media sosial belum tentu benar-benar kehidupan nyata.
Kita hanya melihat sekilas penampilan luarnya tanpa mengetahui kehidupan sebenarnya. Hindari akun-akun yang terindikasi melakukan flexing atau yang hanya membuat iri.
Akan lebih baik, jika kita mengikuti akun-akun yang informatif, bermanfaat, dan bisa menambah wawasan.
Baca Juga: Quiet Quitting, Fenomena yang Lagi Trend di Anak Muda dalam Dunia Kerja
Beberapa hal di atas perlu diperhatikan oleh masyarakat, terutama para pengguna media sosial agar dapat lebih cerdas, cermat, dan bijaksana dalam menggunakan media sosial.
Hal-hal di atas tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya dukungan dari masyarakat sekitar. Dukungan dari seluruh lapisan masyarakat dalam meminimalisir fenomena flexing memiliki peranan yang sangat penting.
Walaupun pemerintah telah membentuk Badan Pertahanan Keamanan Dunia Maya, masyarakat harus dapat bersikap kritis dan memiliki daya pilah yang baik dalam menerima atau memberikan informasi dalam media sosial.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.