Bandung, Sonora.ID - Untuk menjaga keberlangsungan proses Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) yang akan berlangsung secara serentak pada Februari 2024 mendatang, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memiliki tugas untuk mengawasi seluruh tahapan Pemilu tersebut.
“Sebagaimana amanat undang-undang 7 tahun 2017 tugas Bawaslu dalam mengawasi seluruh tahapan pemilu 2024 sehingga pesta demokrasi secara serentak ini akan berlangsung secara maksimal. Jadi jangan sampai ada pelanggaran-pelanggaran yang terulang," ucap Koordinator Divisi Pencegahan dan Partisipasi Masyakarat (P2M) Bawaslu Jabar Zaki Hilmi kepada media usai acara Sosialisasi Pengawasan Siber Dalam Pemilu 2024 di Bandung, Selasa (18/10/2022).
Zaki juga mengatakan, jelang Pemilu 2024, pihaknya menyebut pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilu kecenderungan banyak terjadi di media sosial (medsos).
Baca Juga: Bawaslu Minta ASN Bersikap Netral dalam Pemilu 2024 Mendatang
"Ya berkaca dari Pemilu 2019 yang kala itu juga banyak pelanggaran di medsos, seperti misalnya ujaran kebencian. Walau ada keterbatasan tapi untuk kali ini kami sudah siap untuk mengantisipasinya, akan kami tindak secara tegas," kata Zaki.
"Kami akan bersinergi dengan Polda Jabar khusus kejahatan siber untuk menindaknya," tegas Zaki.
Lebih lanjut Zaki menuturkan, potensi kecurangan maupun potensi pelanggaran dapat dilihat dari dua hal yakni pelanggaran administratif dan pidana. Kedua hal itu pun dapat mengenai peserta Pemilu yang resmi maupun masyarakat umum.
"Jadi dalam konteks pelanggaran ini karena tren penggunaan media sosial semakin kuat maka kampanye banyak akan dilakukan lebih menggunakan media sebagai ajang kampanye yang efektif," kata Zaki.
Bawaslu Jabar tak menampik bahwa pihaknya saat ini memiliki keterbatasan dalam hal informasi teknologi terutama untuk menulusuri akun-akun media sosial (medsos) yang bersifat anonim.
Oleh karena itu, Bawaslu RI akan berkoordinasi kerja sama dengan media platform yang sudah ada seperti instagram, facebook, dan lainnya agar pelanggaran kampanye di media sosial dapat diantisipasi.
"Kita menyadari betul hambatan ruang kebebasan ekspresi dalam konteks penyelenggaraan Pemilu dengan konteks penggunaan medsos beda tipis. Misalkan peserta pemilu belum ada tapi sudah ada pandangan atau stigma negatif terhadap orang yang baru menjadi bakal calon," ucapnya.
Selain itu, imbuh Zaki, Bawaslu juga memiliki keterbatasan regulasi dalam hal penindakan secara tegas soal terhadap pelaku pelanggaran ujaran kebencian pada medsos atau media mainstrem.
Sementara itu, Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ahmad Fauzi atau lebih dikenal sebagai Ray Rangkuti menilai model kampanye di masa yang akan datang akan menggunakan siber dari pada media ruang.
"Media ruang akan ditinggalkan oleh hampir semua peserta Pemilu meski pun secara verbal yang diakui di dalam Pemilu kita itu adalah yang media ruang," kata Ray.
"Media ruang itu biayanya besar, efeknya tidak terlalu banyak kepada masyarakat, tidak membangun emosi caleg dan para penyidik," sambungnya.
Baca Juga: Menyongsong Pemilu 2024, Bawaslu RI: 2022-2024 Tahun yang Melelahkan!
Ray menerangkan, transisi kampanye ke media siber akan dipilih karena tidak memerlukan biaya yang besar, daya jangkau luar biasa, data tahan lebih lama bahkan hingga tahun 2024. Apalagi, kampanye di media siber tidak membutuhkan narasi yang panjang dan memiliki kecendrungan kritisme yang mendahului.
"Jadi orang hanya baca yang hebohnya saja, soal benar atau tidak orang tidak baca," terangnya.
Kendati begitu, Ray menyoroti masalah yang mungkin bisa terjadi dalam kampanye media siber. Menurutnya, kampanye di medsos memiliki kecenderungan negatif, hoaks, dan politik identitas.
"Tantangan yang terberatnya itu hoaks dan politik identitas. Kalau negatif campaign itubagus bagus saja, itu tradisi yang harus kita tumbuhkan cuman sekarang ini ada pengaburan terhadap definisi negatif campaign menjadi hoks dan politik identitas, bahkan turun ke black campaign, itu sesuatu yang salah," tuturnya.
Oleh karena itu, Ray berharap, Bawaslu Jabar yang menjadi garda terdepan bisa menjadi mata semua publik dalam konteks mensubtansi isi kampanye. Sehingga, kampanye dengan media siber lebih banyak berisi positif dibanding negatif, black campaign, politik identitas, maupun hoaks.