10 Puisi Sapardi Djoko Damono: Yang Terbaik dan Paling Terkenal

5 November 2022 14:00 WIB
Puisi Sapardi Djoko Damono.
Puisi Sapardi Djoko Damono. ( Kompas)

 

Sonora.ID - Bagi Anda yang menggeluti atau memiliki ketertarikan dengan karya sastra Indonesia tentu sudah tidak asing lagi dengan mendiang Sapardi Djoko Damono.

Melansir dari laman DPAD Provinsi Jogja, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono merupakan salah satu pujangga Indonesia yang terkemuka.

Ia merupakan anak sulung dari Sadyoko dan Sapariah. Sang ayah diketahui merupakan abdi dalem di Keraton Kasunanan.

Sapardi Djoko Damono yang lahir pada tanggal 20 Maret tahun 1940 memulai karir menulisnya dari bangku sekolah.

Saat masih duduk di sekolah menengah, karya-karyanya bahkan sudah sering dimuat di berbagai majalah.

Kemampuan menulisnya pun semakin berkembang ketika dia kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.

Dengan kemampuan menulisnya salah satu guru besar di Universitas Indonesia (UI) ini telah berhasil meraih berbagai penghargaan seperti Cultural Award dari Australia (1978), Anugerah Puisi Putra dari Malaysia (1983), SEA Write Award dari Thailand (1986), Penghargaan Achmad Bakrie (2003), dan masih banyak lagi.

Meski Ia telah wafat pada 19 Juli tahun 2020 yang lalu, berbagai karya terbaik dan fenomenalnya hingga kini masih dikenal oleh masyarakat.

Seperti beberapa puisi ciptaannya berikut ini yang mungkin saja pernah kita dengar saat masih duduk di bangku sekolah.

Baca Juga: 50+ Contoh Gurindam Lengkap Dengan Pengertian, Ciri, dan Jenisnya

Puisi Sapardi Djoko Damono

Hujan Bulan Juni 

Tak ada yang lebih tabah 

Dari hujan bulan juni 

Dirahasiakan rintik rindunya 

Kepada pohon berbunga itu 

Tak ada yang lebih bijak 

Dari hujan di bulan Juni 

Dihapuskan jejak-jejak kakinya 

Yang ragu-ragu di jalan itu 

Tak ada yang lebih arif 

Dari hujan bulan Juni 

Dibiarkan yang tak terucapkan 

Diserap akan pohon bunga itu

Aku Ingin 

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana 

dengan kata yang tak sempat diucapkan 

kayu kepada api yang menjadikannya abu 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana 

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan 

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

Yang Fana adalah Waktu 

Yang fana adalah waktu. Kita abadi: 

Memungut detik demi detik, merangkainya 

seperti bunga sampai pada suatu hari 

Kita lupa untuk apa 

"Tapi, 

Yang fana adalah waktu, bukan?" 

tanyamu. Kita abadi.

Hanya 

“Hanya suara burung yang kau dengar 

dan tak pernah kaulihat burung itu 

tapi tahu burung itu ada di sana 

hanya desir angin yang kaurasa 

dan tak pernah kaulihat angin itu 

tapi percaya angin itu di sekitarmu 

hanya doaku yang bergetar malam ini 

dan tak pernah kaulihat siapa aku 

tapi yakin aku ada dalam dirimu”

Baca Juga: 30 Pantun Agama Ini Penuh dengan Nasihat Bijak dan Menginspirasi

Menjenguk Wajah di Kolam 

“Jangan kauulang lagi 

menjenguk wajah yang merasa sia-sia, yang putih 

yang pasi 

itu. 

Jangan sekali- 

kali membayangkan 

Wajahmu sebagai 

rembulan. 

Ingat, 

jangan sekali- 

kali. Jangan. 

Baik, Tuan.” 

Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta 

“mencintai angin 

harus menjadi siut 

mencintai air 

harus menjadi ricik 

mencintai gunung 

harus menjadi terjal 

mencintai api 

harus menjadi jilat 

mencintai cakrawala 

harus menebas jarak 

mencintai-Mu 

harus menjelma aku”

Pada Suatu Hari Nanti 

“Pada suatu hari nanti, 

jasadku tak akan ada lagi, 

tapi dalam bait-bait sajak ini, 

kau tak akan kurelakan sendiri. 

Pada suatu hari nanti, 

suaraku tak terdengar lagi, 

tapi di antara larik-larik sajak ini. 

Kau akan tetap kusiasati, 

pada suatu hari nanti, 

impianku pun tak dikenal lagi, 

namun di sela-sela huruf sajak ini, 

kau tak akan letih-letihnya kucari.”

Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun

melayang jatuh di rumput

Nanti dulu

biarkan aku sejenak terbaring di sini

ada yang masih ingin kupandang

yang selama ini senantiasa luput

Sesaat adalah abadi

sebelum kausapu tamanmu setiap pagi

Sajak Tafsir

Kau bilang aku burung?

Jangan sekali-kali berkhianat

kepada sungai, ladang, dan batu

Aku selembar daun terakhir

yang mencoba bertahan di ranting

yang membenci angin

Aku tidak suka membayangkan

keindahan kelebat diriku

yang memimpikan tanah

tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku

ke dalam bahasa abu

Tolong tafsirkan aku

sebagai daun terakhir

agar suara angin yang meninabobokan

ranting itu padam

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat

untuk bisa lebih lama bersamamu

Tolong ciptakan makna bagiku

apa saja — aku selembar daun terakhir

yang ingin menyaksikanmu bahagia

ketika sore tiba.

Ayat-Ayat Tokyo

/1/

angin memahatkan tiga panah kata

di kelopak sakura–

ada yang diam-diam membacanya

/2/

ada kuntum melayang jatuh

air tergelincir dari payung itu;

“kita bergegas,” katanya

/3/

kita pandang daun bermunculan

kita pandang bunga berguguran

kita diam: berpandangan

/4/

kemarin tak berpangkal, besok tak berujung–

tak tahu mesti ke mana

angin menyambut bunga gugur itu

/5/

lengking sakura–

tapi angin tuli

dan langit buta

/6/

menjelma burung gereja

menghirup langit dalam-dalam–

angin musim semi

Baca Juga: Contoh Puisi Naratif Lengkap dengan Pengertian dan Jenis-jenisnya

Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.7 fm
98.9 fm
98.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm