Sonora.ID - Bagi Anda yang menggeluti atau memiliki ketertarikan dengan karya sastra Indonesia tentu sudah tidak asing lagi dengan mendiang Sapardi Djoko Damono.
Melansir dari laman DPAD Provinsi Jogja, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono merupakan salah satu pujangga Indonesia yang terkemuka.
Ia merupakan anak sulung dari Sadyoko dan Sapariah. Sang ayah diketahui merupakan abdi dalem di Keraton Kasunanan.
Sapardi Djoko Damono yang lahir pada tanggal 20 Maret tahun 1940 memulai karir menulisnya dari bangku sekolah.
Saat masih duduk di sekolah menengah, karya-karyanya bahkan sudah sering dimuat di berbagai majalah.
Kemampuan menulisnya pun semakin berkembang ketika dia kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.
Dengan kemampuan menulisnya salah satu guru besar di Universitas Indonesia (UI) ini telah berhasil meraih berbagai penghargaan seperti Cultural Award dari Australia (1978), Anugerah Puisi Putra dari Malaysia (1983), SEA Write Award dari Thailand (1986), Penghargaan Achmad Bakrie (2003), dan masih banyak lagi.
Meski Ia telah wafat pada 19 Juli tahun 2020 yang lalu, berbagai karya terbaik dan fenomenalnya hingga kini masih dikenal oleh masyarakat.
Seperti beberapa puisi ciptaannya berikut ini yang mungkin saja pernah kita dengar saat masih duduk di bangku sekolah.
Baca Juga: 50+ Contoh Gurindam Lengkap Dengan Pengertian, Ciri, dan Jenisnya
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakan rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan di bulan Juni
Dihapuskan jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkan yang tak terucapkan
Diserap akan pohon bunga itu
Aku Ingin
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Yang Fana adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
Memungut detik demi detik, merangkainya
seperti bunga sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa
"Tapi,
Yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.
Hanya
“Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu”
Baca Juga: 30 Pantun Agama Ini Penuh dengan Nasihat Bijak dan Menginspirasi
Menjenguk Wajah di Kolam
“Jangan kauulang lagi
menjenguk wajah yang merasa sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.
Jangan sekali-
kali membayangkan
Wajahmu sebagai
rembulan.
Ingat,
jangan sekali-
kali. Jangan.
Baik, Tuan.”
Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta
“mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
mencintai-Mu
harus menjelma aku”
Pada Suatu Hari Nanti
“Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.”
Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
Nanti dulu
biarkan aku sejenak terbaring di sini
ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi
Sajak Tafsir
Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu
Tolong ciptakan makna bagiku
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.
Ayat-Ayat Tokyo
/1/
angin memahatkan tiga panah kata
di kelopak sakura–
ada yang diam-diam membacanya
/2/
ada kuntum melayang jatuh
air tergelincir dari payung itu;
“kita bergegas,” katanya
/3/
kita pandang daun bermunculan
kita pandang bunga berguguran
kita diam: berpandangan
/4/
kemarin tak berpangkal, besok tak berujung–
tak tahu mesti ke mana
angin menyambut bunga gugur itu
/5/
lengking sakura–
tapi angin tuli
dan langit buta
/6/
menjelma burung gereja
menghirup langit dalam-dalam–
angin musim semi
Baca Juga: Contoh Puisi Naratif Lengkap dengan Pengertian dan Jenis-jenisnya
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.