Pertentangan menurut Karl Marx dipicu oleh perbedaan akses terhadap sumber kekuasaan, yakni modal. Dalam masyarakat kapitalis, hal tersebut berakibat pada dua kelas yang saling bertentangan, yakni kelas borjuis dan proletariat.
Baca Juga: 4 Contoh Landasan Teori untuk Karya Ilmiah, Skripsi hingga Laporan PKL
Lewis A. Coser berpendapat bahwa konflik memiliki fungsi positif jika mampu dikelola dan diekspresikan sewajarnya. Teori konflik yang dikemukakakn oleh Lewis A. Coser mempengaruhi sosialogi konflik pragmatis atau multidisipliner, yang digunakan untuk mengelola konflik dalam perusahaan ataupun organisasi modern lainnya.
Teori ini memandang sistem sosial memiliki sifat fungsional. Konflik tidak selalu bersifat negative. Ia juga dapat mempererat hubungan antarindividu dalam suatu kelompok.
Coser meyakini keberadaan konflik tidak harus bersifat disfungsional. Oleh sebab itu, keberadaan konflik dapat memicu suatu bentuk interaksi dan memberikan konsekuensi yang sifatnya positif. Tidak hanya dengan itu, dengan adanya konflik juga mampu menggerakkan anggota kelompok yang terisolasi menjadi berperan aktif dalam aktivitas kelompoknya.
Coser juga mengelompokkan konflik sosial menjadi dua jenis, yakni konfliik realistis dan konflik non-realistis. Konflik realistis merupakan konflik yang timbul karena adanya kekecewaan individu maupun kelompok terhadap berbagai bentuk permasalahan dalam hubungan sosial. Sementara, konflik non-realistis tercipta karena adanya kebutuhan untuk melepaskan ketegangan dari salah satu atau dua pihak yang sedang berkonflik.
Baca Juga: Mengenal, Apa Itu Disintegrasi Bangsa? Materi Ilmu Sosiologi SMA
Menurut Ralf Dahrendorf, konflik akan muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Oleh sebab itu, konflik tidak mungkin melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak terhubung dalam sistem.
Teori Dahrendorf memaparkan jika relasi-relasi di struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Adapun kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan atas kontrol dan sanksi yang memungkinkan pemilik kekuasaan memberikan perintah dan meraih keuntungan dari mereka yang tidak berkuasa.
Dalam pandangan Dahrendorf, konflik kepentingan menjadi sesuatu yang tidak dapat terhindarkan dari relasi antara pemilik kekuasaan dan mereka yang tidak berkuasa. Awalnya, Dahrendorf merumuskan teori konflik sebagai teori parsial yang diterapkan untuk menganalisis fenomena sosial. Kemudian, ia melihat masyarakat memiliki dua sisi yang berbeda, yakni kerja sama dna konflik.
Oleh sebab itu, Dahrendorf menganalisis konflik sosial dengan perspektif dari sosiologi fungsionalisme struktural untuk menyempurnakan teorinya. Dia juga mengadopsi teori perjuangan kelas Marxian untuk menyusun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industry.
Ia menghubungkan antara pemikiran fungsional mengenai struktur dan fungsi masyarakat dengan teori konflik antarkelas sosial. Tidak hanya itu, Dahrendorf juga tidak melihat masyarakat sebagai suatu hal yang statis, tetapi dapat berubah oleh adanya konflik sosial yang terjadi.