Sonora.ID- Berikut ini adalah ulasan tentang apa saja teori konflik menurut para ahli sosiologi yang paling fenomenal.
Setiap manusia yang hidup di dunia ini, pasti pernah mengalami konflik. Baik konflik yang bersifat individu maupun konflik yang terjadi dengan lingkungan sekitarnya.
Karena sifat konflik itu sendiri adalah inheren yang artinya, konflik akan terus dapat terjadi di terjadi setiap ruang dan waktu, di mana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat menjadi arena atau tempat konflik atau pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik dirumuskan sebagai percecokan; perselisihan; pertentangan; ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama (pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dan sebagainya).
Sedangkan menurut istilah “Konflik” berasal dari bahasa latin yaitu “con” yang berarti bersama. Dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.
Dengan berkembangnya waktu terdapat beberapa ahli yang akhirnya membuat suatu teori yang dinamkan teori konflik. Teori ini sudah banyak digunakan sebagai rujukan dalam berbagai macam kegiatan, seperti pendidikan maupun penelitian.
Baca Juga: 7 Contoh Landasan Teori untuk Karya Ilmiah beserta Pengertiannya
Lantas apa saja teori konflik menurut para ahli sosiologi tersebut? Dikutip dari gramedia.com, simak ulasannya berikut ini:
Konflik dalam pandangan Karl Marx merupakan suatu bentuk pertentangan kelas. Ia juga memperkenalkan konsep struktur kelas di masyarakat. Masyarakat dilihat sebagai arena ketimpangan (inequality) yang mampu memicu konflik dan perubahan sosial.
Marx melihat konflik di masyarakat berkaitan dengan adanya kelompok yang berkuasa dan dikuasai. Konflik kelas timbul karena adanya pertentangan kepentingan ekonomi. Setidaknya teori Karl Marx menyangkut empat teori dasar berikut ini:
Pertentangan menurut Karl Marx dipicu oleh perbedaan akses terhadap sumber kekuasaan, yakni modal. Dalam masyarakat kapitalis, hal tersebut berakibat pada dua kelas yang saling bertentangan, yakni kelas borjuis dan proletariat.
Baca Juga: 4 Contoh Landasan Teori untuk Karya Ilmiah, Skripsi hingga Laporan PKL
Lewis A. Coser berpendapat bahwa konflik memiliki fungsi positif jika mampu dikelola dan diekspresikan sewajarnya. Teori konflik yang dikemukakakn oleh Lewis A. Coser mempengaruhi sosialogi konflik pragmatis atau multidisipliner, yang digunakan untuk mengelola konflik dalam perusahaan ataupun organisasi modern lainnya.
Teori ini memandang sistem sosial memiliki sifat fungsional. Konflik tidak selalu bersifat negative. Ia juga dapat mempererat hubungan antarindividu dalam suatu kelompok.
Coser meyakini keberadaan konflik tidak harus bersifat disfungsional. Oleh sebab itu, keberadaan konflik dapat memicu suatu bentuk interaksi dan memberikan konsekuensi yang sifatnya positif. Tidak hanya dengan itu, dengan adanya konflik juga mampu menggerakkan anggota kelompok yang terisolasi menjadi berperan aktif dalam aktivitas kelompoknya.
Coser juga mengelompokkan konflik sosial menjadi dua jenis, yakni konfliik realistis dan konflik non-realistis. Konflik realistis merupakan konflik yang timbul karena adanya kekecewaan individu maupun kelompok terhadap berbagai bentuk permasalahan dalam hubungan sosial. Sementara, konflik non-realistis tercipta karena adanya kebutuhan untuk melepaskan ketegangan dari salah satu atau dua pihak yang sedang berkonflik.
Baca Juga: Mengenal, Apa Itu Disintegrasi Bangsa? Materi Ilmu Sosiologi SMA
Menurut Ralf Dahrendorf, konflik akan muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Oleh sebab itu, konflik tidak mungkin melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak terhubung dalam sistem.
Teori Dahrendorf memaparkan jika relasi-relasi di struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Adapun kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan atas kontrol dan sanksi yang memungkinkan pemilik kekuasaan memberikan perintah dan meraih keuntungan dari mereka yang tidak berkuasa.
Dalam pandangan Dahrendorf, konflik kepentingan menjadi sesuatu yang tidak dapat terhindarkan dari relasi antara pemilik kekuasaan dan mereka yang tidak berkuasa. Awalnya, Dahrendorf merumuskan teori konflik sebagai teori parsial yang diterapkan untuk menganalisis fenomena sosial. Kemudian, ia melihat masyarakat memiliki dua sisi yang berbeda, yakni kerja sama dna konflik.
Oleh sebab itu, Dahrendorf menganalisis konflik sosial dengan perspektif dari sosiologi fungsionalisme struktural untuk menyempurnakan teorinya. Dia juga mengadopsi teori perjuangan kelas Marxian untuk menyusun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industry.
Ia menghubungkan antara pemikiran fungsional mengenai struktur dan fungsi masyarakat dengan teori konflik antarkelas sosial. Tidak hanya itu, Dahrendorf juga tidak melihat masyarakat sebagai suatu hal yang statis, tetapi dapat berubah oleh adanya konflik sosial yang terjadi.