Kepada Delegasi PWKI ke Vatikan, Kardinal Parolin berpesan sama seperti halnya disampaikan Paus Fransiskus agar tidak membuat tembok penghalang atau pembatas, tetapi membangun jembatan persaudaraan agar perdamaian tercapai. Salah satunya bekerja sama dengan pihak lain.
Kardinal memahami bahwa Indonesia adalah Negara dengan pluralisme sangat tinggi dengan umat Katolik yang minoritas maka persaudaraan menjadi sangat penting untuk terus diperjuangkan.
Setelah PD II dan multilateralisme berakhir, sambung Parolin, semangat untuk berdialog pun tersu melemah. Multilateralisme hilang dan berganti dengan interest pribadi. Negara mulai berani angkat senjata untuk mendukung interest pribadi dan egoism negaranya. Nafsu dan kerakusan menjadi nomor satu atau passion yang buntutnya menimbulkan perang.
“Di sinilah misi jurnalis terutama jurnalis Katolik untuk mengajak atau mengedukasi masyarakat menjadi orang baik yang bisa melawan nafsu, egoisme dan kerakusan dalam diri meraka. Saya melihat PWKI punya energi untuk melakukan itu,” pungkasnya.
Kunjungan resmi PWKI ke Vatikan mengambil thema Journalists & Human Fraternity. Dalam penjelasannya kepada Kardinal Pietro Parolin, Putut Prabantoro menegaskan bahwa PWKI meyakini bahwa meski tidak diketahui kapan, perang antar dua negara itu akan selesai dengan belajar dari runtuhnya Eropa Timur dan Uni Soviet yang melibatkan Vatikan. Namun banyaknya analisa luar negeri yang berbicara tentang perang nuklir, Putut Prabantoro, yang juga Taprof bid. Ideologi dan Sosbud Lemhannas RI, kampanye perdamaian PWKI dimaksudkan agar perang tidak membesar dan meluas yang melibatkan berbagai negara.
"Kampanye perdamaian ini sebagai bentuk nyata dari pelaksanaan amanat Pembukaan UUD 1945 tentang perdamaian dunia. Setiap warganegara Indonesia harus terlibat dalam perwujudan perdamaian dunia. Dan sebagai orang Katolik, kampanye perdamaian ini didasarkan pada Dolumen Abu Dhabi," tegas pendiri PWKI itu.