Operasi dan bisnis KPI, lanjut Ganda, menyesuaikan dengan rencana dan target ESG Pertamina. KPI menjadikan implementasi ESG bukan sekadar aksesoris ataupun gimmick. ESG apabila tidak dilakukan dengan afirmative action dan policy pada masa mendatang akan menjadi potensi risiko untuk reputasi perusahaan maupun aspek finansial.
“Dua risiko itu harus dimitigasi dengan cermat karena pembangunan kilang yang membutuhkan investasi yang jumbo membutuhkan pendanaan dari market atau strategic investor. Tanpa reputasi yang baik perusahaan akan kesulitan menarik investasi,” kata Ganda.
Jalal, Praktisi ESG dan Dewan Pengurus Institute of Certified Sustainability Practitioners (ICRP), mengatakan puncak dari implementasi ESG adalah pembiayaan. Jika tidak dapat keputusan pembiayaan, tentu tidak dapat keuntungan, tentunya bukan ESG.
“Jadi perlu memperhatikan selera pasar, modal ada dimana. Kalau Pertamina mau mencari pembiayaan, yang penting diperhatikan adalah yang mempunyai uang lebih memperhatikan yang mana. Perusahaan yang mau ber-ESG harus mempunyai fokus,” ungkap Jalal.
Mengutip S&P Global, menurut Jalal, sektor migas adalah sektor industri dengan paparan risiko ESG tertinggi di antara seluruh sektor. Namun, subsektor kilang dinilai paling rendah risikonya.
“Tingginya risiko ESG sektor migas terutama disebabkan oleh risiko lingkungan dan sosial yang selalu ada di atas rerata industri,” katanya.
Menurut Jalal, ada tiga pilihan yang bisa diambil untuk mengantisipasi risiko tersebut, yakni mau tetap bertahan di bisnis migas, melakukan pindah atau diversifikasi usaha secara bertahap atau pindah secara cepat.
“Masing-masing mempunyai risiko sendiri. Kalau enggak pindah, tidak perlu Capex, tapi risikonya nanti perusahaan mati,” kata dia.
Menurut Komaidi, ESG akan menjadi beban tambahan (additional cost), namun dalam aspek keberlanjutan sangat bagus.
“Kita perlu aware, ada konsekuensi yang perlu ditanggung kalau kita ingin baik. Hidup sehat itu bagus, tapi perlu ditanggung oleh vitamin vitamin yang tentunya perlu biaya cukup besar,” kata Komaidi.
Bagus Agung mengatakan ESG akan menentukan keberlangsungan entitas tersebut. Bukan hanya saat ini untung, tapi 30 tahun kemudian entitas tersebut bubar.
“Bagaimana tiga faktor (ESG) ini menjadi terkait dan membentuk sustainaibility,” ujar Bagus.
Menurut dia, keberlanjutan seolah-olah hanya erat kaitannya dengan lingkungan, padahal ada ESG yang menjadi peta jalan (roadmap) membentuk sustainability Pertamina. Implementasi ESG di Pertamina sudah dilihat publik dari ekosistem. Tiga faktor ini menjadi tolak ukur, apakah perusahaan ini bisa berlanjut atau tidak. ESG juga mengukur keberlanjutan profit generation.
“Dari sisi governance apakah perusahaan mau terus menerus melakukan perbaikan terhadap tata kelolanya sehingga membuat governance selalu dimodifikasi menjadi nilai bagi perusahaan,” katanya.
Bagus mengatakan saat ini investor dan perbankan sangat peduli dengan ESG karena tidak mau diasosiasikan dengan perusahaan yang abai terhadap tiga faktor itu, yakni ESG. Karena itu, ESG di Pertamina merupakan komitmen untuk mencapai nol emisi atau NZE pada 2060.