Akademisi Fakultas Hukum Unsri, Ruben Achmad, lewat paparannya menjelaskan meski KUHP telah disahkan menjadi UU, perdebatan pasal-pasal krusial tetap terjadi di masyarakat. Perdebatan pasal-pasal tersebut, mayoritas terdapat di buku kedua KUHP. Menurutnya, beberapa pasal memiliki potensi bahaya yang menimbulkan multitafsir dari penerapan KUHP.
"Salah satu contohnya pasal 188 dan 189 KUHP, tentang pengaturan pidana 4 tahun penjara bagi penyebar paham komunisme dan leninisme. Potensi bahaya adalah hukum pidana tentang penghinaan seharusnya tidak boleh untuk melindungi sesuatu yang bersifat abstrak dan subjektif," ujar Ruben.
Ruben juga menyinggung pengaturan pasal 218 dan 291 tentang serangan terhadap kehormatan harkat dan martabat presiden serta wakilnya. Menurut Ruben, pengaturan dalam pasal tersebut belumlah sempurna. Ia menyampaikan bahwa perubahan sebagai delik aduan, tidak menghilangkan masalah anti demokrasi.
"Itu beberapa contoh pasal yang terus menerus diperdebatkan di masyarakat. Tapi tidak apa-apa. Karena kalau tidak, kapan kita punya KUHP produk nasional. Kalau masih ada yang tidak puas dengan yang dibuat ini, silakan menggunakan jalur yang sudah resmi," ujarnya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Profesor Topo Santoso, juga memberikan paparan soal pembaruan KUHP. Menurutnya, pembaharuan hukum pidana memang dibutuhkan. Lewat KUHP baru, kini diatur 3 pilar hukum pidana mulai dari tindak pidana, tanggung jawab pidana, serta pidana dan pemidanaan.
"Buku I KUHP, banyak sekali pembaruan doktrin yang dulu zaman Belanda belum diatur. Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana diatur dalam BAB II KUHP," jelasnya.
Profesor Topo juga menjelaskan bahwa KUHP baru mengatur jelas tentang alasan ‘pemaaf’ yang dapat meringankan hukuman pidana dari seseorang. Dalam pasal 40 diatur bahwa pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada melakukan tindak pidana belum berumur 12 tahun.
Ia juga menegaskan bahwa tim penyusun KUHP telah mengikuti asas atau teori dalam kriminalisasi hukum pidana, yang harus lex scripta, serta lex certa yang jelas dan tegas. KUHP disusun berdasarkan perdebatan satu ketentuan pidana yang mempertimbangkan pemidanaan seseorang dengan mudah atau tidak.
"Kita menghindarkan orang terjerat dari aturan pidana. Termasuk memuat ketentuan-ketentuan yang bukan delik biasa. Tapi aduan. Untuk mengurangi kemungkinan itu," ujarnya.
Turut melengkapi, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, I Gede Widhiana menjelaskan pengaturan tindak pidana khusus diatur dalam Bab 35. Bab tersebut mengatur mengenai 5 kategori pidana khusus seperti tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana narkoba.
"Tidak semua yang diatur dalam UU sektoral akan hilang ketika masuk dalam tindak pidana khusus KUHP. Publik mempertanyakan, bagaimana dengan UU Tipikornya [Tindak Pidana Korupsi]? Perlu saya sampaikan bahwa, UU Tipikor tidak hilang karena pengaturan tindak pidana khusus," ungkapnya.
Sosialisasi KUHP yang berlangsung secara hybrid ini telah diikuti oleh 547 peserta daring dan 100 peserta luring. Lewat kegiatan ini, diharapkan dapat meneruskan informasi terkait penyesuaian KUHP kepada elemen-elemen publik.
Di hari yang sama (8/12), Sosialisasi KUHP juga berlangsung di Universitas Internasional Batam dan turut mengundang para ahli. Harapannya, sosialisasi yang dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia ini dapat meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya keberadaan KUHP baru, agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada saat ini.