Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Prof. Pujiyono, mengatakan bahwa KUHP suatu bangsa mencerminkan tingkat keberadaban dari bangsa itu sendiri. Karena menurutnya, apa yang tertuang di dalam norma dalam satu kitab undang-undang mencerminkan sistem nilai yang dianut oleh bangsa yang bersangkutan.
“Jadi kalau kita berbicara secara teori, hukum pada hakikatnya mengandung dua hal terutama dalam hukum pidana, yaitu norma dan value. Jadi norma tertulis seperti itu karena didasarkan pada konsep ide gagasan nilai-nilai tertentu. Inilah yang kemudian kita temukan beberapa hal yang berbeda secara diametral dengan apa yang ada di dalam KUHP yang lama,” jelasnya.
Sebagai contohnya, Ia menjelaskan mengenai polemik terkait kohabitasi. Menurutnya, kohabitasi diatur dalam KUHP karena perwujudan dari konsep ide dasar nilai-nilai yang kita anut sebagai bangsa Indonesia yang masyarakat religiusnya tinggi, menganut nilai-nilai Pancasila, serta nilai-nilai susila dan masyarakat yang sangat tinggi.
Selain itu menurutnya, secara politis dengan disahkannya KUHP Baru ada kebanggaan nasional ketika melepaskan diri dari belenggu Undang-undang yang bersifat kolonial. Ia juga mengungkapkan bahwa secara sosiologis KUHP didasarkan pada konsep ide dasar nilai-nilai di Indonesia.
“Jadi di sini menempatkan Pancasila sebagai margin of appreciation, Pancasila sebagai landasan pembenaran terhadap absorbsi apakah itu terkait dengan nilai-nilai lokal, nasional, maupun nilai-nilai global,” jelasnya.
Pujiyono juga mengatakan bahwa pembaharuan KUHP menggunakan model kodifikasi terbuka terbatas. Menurutnya, kodifikasi adalah penyusunan bahan hukum secara lengkap dan sistematis di dalam suatu kitab undang-undang. Harapannya, ketika disusun secara lengkap dan sistematis, di luar KUHP tidak ada lagi delik-delik yang muncul berkaitan dengan tindak pidana.
“Tetapi kemudian kita menyadari bahwa melakukan suatu kodifikasi yang tertutup itu tidak mungkin, maka kodifikasi yang kita lakukan adalah kodifikasi yang terbuka. Artinya, ketentuan Pasal 103 di dalam KUHP yang baru dalam Pasal 187 itu memberi ruang. Meskipun sedemikian rupa sudah dimasukkan di dalam KUHP yang baru tapi masih dimungkinkan perkembangan-perkembangan untuk mengakomodir perkembangan baru yang dimungkinkan untuk berkembang di luar KUHP,” jelasnya.
Pada sesi selanjutnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Ketua MAHUPIKI, Yenti Ganarsih mengatakan bahwa rekodifikasi penting. Karena, ada pertanyaan-pertanyaan tentang KUHP Baru, mengenai masih banyaknya pasal-pasal yang ada di dalam KUHP lama.
“Memang kita tidak mengubah semuanya, karena dalam KUHP yang lama pun substansi perbuatan-perbuatan yang harus dijadikan tindak pidana adalah mala per se, yang memang di seluruh dunia hampir semuanya dilarang, yaitu hal-hal yang dilarang oleh kitab-kitab suci agama samawi dan kitab-kitab pedoman manusia hidup di dunia,” jelas Yenti.
Ia juga mengatakan bahwa RKUHP yang telah menjadi KUHP berangkat dari ide dasar kebaikan, yaitu perlindungan manusia terutama manusia Indonesia, dan ide perlindungan penghargaan terhadap HAM. Selain itu, hukum pidana melindungi kepentingan nasional, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu.
“Kita nanti akan hati-hati juga melihat supaya tidak ada KUHP itu ingin masuk ke ruang-ruang privat dengan sedemikian rupa. Tetapi kalau hal-hal yang masuk kepada ruang privat pasti ada konteks-konteks apakah itu sebagai konteks kesusilaan yang bisa diatur oleh bangsa itu sendiri, sebagai hal-hal yang di dalam konvensi-konvensi biasanya dikatakan bukan sebagai keharusan, tetapi untuk menghormati kedaulatan negara-negara. Hal-hal seperti ini yang nampaknya menjadi perbincangan sekarang,” jelasnya.
Yenti mencontohkan dengan pasal yang berkaitan dengan perzinahan dan kohabitasi, di mana pasal tersebut dikatakan terlalu masuk ke ruang privat dan seolah-olah semua orang nanti akan terkena pasal tersebut.
“Sebetulnya sekarang ini pun pasal perzinahan yang kita implementasikan itu sudah ada di dalam KUHP lama di Pasal 284, bikinan pemerintahan kolonial pada waktu itu, dan pasal itu dijalankan, tetapi kan jarang sekali yang terkena pasal tersebut. Tetapi secara moral, secara living law, secara sudut pandang bangsa Indonesia yang ber-Pancasila, kita tidak mungkin melepaskan itu. Demikian juga dengan kohabitasi,” ujarnya.
Keunggulan KUHP yang baru menurut Yenti adalah adanya Tujuan Pemidanaan dan Pedoman Pemidanaan, di mana keunggulan ini akan menjawab bahwa hukum pidana tidak lagi tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
“Nanti kita akan melihat bagaimana hakim patuh pada Tujuan Pemidanaan dan Pedoman Pemidanaan. Bagaimana memaknainya, juga untuk mengurangi masalah pemidanaan yang sangat berbeda jauh untuk kasus-kasus yang sama ataupun hampir sama, tanpa mengurangi kebebasan hakim dengan diaturnya Tujuan Pemidanaan dan Pedoman Pemidanaan. Ini mestinya bisa terkoreksi,” ungkap Yenti.
Sosialisasi KUHP yang berlangsung secara hybrid dengan menghadirkan 110 Penyuluh Informasi Publik (PIP) wilayah Indonesia Barat, dan 110 Penyuluh Informasi Publik (PIP) wilayah Indonesia Timur. Materi sosialisasi yang diterima oleh PIP diharapkan mampu diteruskan ke masyarakat terkait penyesuaian KUHP yang baru, guna mencegah penyebaran hoaks.