“Nah, kan. Esmosi niyeee! Ya iyalah Ra. Itu Ibuku lho. Perempuan terbaik di dunia ini. Sedangkan kamu adalah sahabatku dan kita baru berkenalan tiga tahun yang lalu.”
“Jadi…”
“Hehe, sabar, Ra. Bukankah sebagai seorang anak kita harus meninggikan bakti kepada Ibunda? Dan aku pikir, dengan memenuhi hajat alias keinginan Ibuku, itu tandanya aku sedang memberikan hadiah kecil kepadanya.”
“Hahaha. Indah, Indah. Kamu ada-ada saja. Hadiah ya hadiah, bantuan ya bantuan. Paling tidak kamu belikan buket, atau kue, atau perhiasan deh untuk Ibumu.”
“Ehem. Indah, kamu tahu sendiri kan, aku hanyalah orang biasa yang berasal dari keluarga sederhana. Berat rasanya bagiku untuk memberikan Ibunda hadiah, apalagi jenis hadiah yang dimaksud adalah seperti ucapanmu tadi. Jikalau begitu ukuran hadiah untuk Ibu, mungkin aku akan sangat sulit sekali berbakti kepadanya.”
Rara pun terdiam tanpa kisah. Ia tak bisa menyanggah ucapanku. Kupikir, remaja cantik itu takut salah bicara hingga nanti kiranya aku bakal sakit hati. Padahal tidak! Aku tidak sebaper itu.
“Ra, menurutku hadiah untuk Ibunda tercinta itu tidak harus selalu dengan uang, barang, atau perhiasan. Ketika kita membantunya dengan sepenuh hati dan tidak membantah setiap nasihat baik, aku rasa itu adalah hadiah terbesar yang bisa kita berikan kepada Ibu. Di luar sana, mungkin banyak anak yang lebih kaya dari kita, dia bisa memberikan apa pun kepada Ibunya. Tapi ternyata? Masih saja ada keributan di antara mereka gara-gara si anak kurang taat, sedikit berbakti, dan tidak perhatian dengan orang tua. Aku tidak ingin seperti itu, Ra.”
Rara kembali terdiam, tapi kali ini ia lega. Sontak saja diambilnya gelas berisi teh hijau dan langsung diminumnya hingga beberapa teguk.
Perempuan ini benar-benar adalah sahabat sejatiku. Rara sungguh mau berbesar hati menerima opini jujurku. Engkau hebat, Ra!
“Ndah, jadi, sebenarnya Hari Ibu itu bukan tanggal 22 Desember, ya?”
“Begitulah, Ra. Sejatinya Hari Ibu itu terjadi setiap hari, dan setiap hari adalah kewajiban kita sebagai seorang anak untuk membahagiakannya.”
“Oke siap. Tapi besok siang kamu masih mau kan temani aku cari buket?”
“Mau dong. Nanti setelah pulang dari pasar, aku kabari ya.”
“Nah, cakep. Besok aku traktir kamu deh!”
“Wah, mantap ini. Aku mau boba!”
Baca Juga: 7 Contoh Cerpen Romantis, Kisah Cinta Pasangan yang Tulus
3. Rindu Ibu
Tak jarang aku dibuat iri dan kesal karena ibu jarang ada di sisiku. Sementara teman-temanku yang lain mereka mendapat kasih sayang seorang ibu setiap harinya.
Ayah hanya mengatakan hal yang sama berulang: ‘sabar sayang, ibu bukan tak sayang kamu, tapi ia harus bekerja dulu, sabar…”
Ya, ibuku bekerja sebagai TKW di luar negeri, tepatnya Singapura. Alih-alih mengurus anaknya sendiri, Ibu mengurus anak orang lain di sana.
Hari silih berganti waktu terus berputar, tak terasa aku belum melihat ibu secara langsung selama tiga tahun.
Selama itu aku hanya menghubunginya via video call. Akhir-akhir ini pun aku sering acuh jika jika VC dengannya. Aku tampak marah karena memang kesal. Kesal karena rindu ibu.
Tampak terlihat jelas kalau ibu pun kecewa, ia tahu anaknya marah karena selalu diminta pulang, tapi tak bisa.
“Ibu di sini karena kamu, sabar nak tinggal beberapa bulan lagi ibu pulang,” kalimat yang sering ibu ungkapkan ketika aku menagih pulang dirinya.
Di sekolah rasa kesalku terkadang belanjut sehingga membuat aku malas untuk belajar. Beruntung, teman-temanku sering mengajak aku bermain, setidaknya rasa rindu bercampur kesal kepada ibu sedikit hilang.
Pada suatu hari, ada seorang siswa baru bernama Ani. Ia datang dari kampung yang jauh untuk pindah ke kota. Lantaran ayahnya kini bekerja di sini.
Ani terlihat sebagai anak yang baik dan lembut. Namun, saat diajak main sepulang sekolah, ia selalu menolaknya.
“Aku mau bantu ayah bekerja,” jawab Ani setiap diajak bermain.
Di satu pagi dengan kekesalan yang sama—dan rindu yang sama—aku datang ke sekolah dengan wajah muram.
Ani yang melihatnya pun penasaran. “Kamu kenapa Debi? Ko cemberut?”
“Kesal sama ibu,” jawabku singkat.
Ani tambah penasaran. “Kenapa kesal?”
Aku jawab rasa kekesalanku dan alasan ibu bekerja di luar negeri. Ani tersenyum mendengarnya dan terlihat ‘lega’.
“Ani, kenapa kamu malah tersenyum? Bukankah kamu akan kesal jika mengalami hal serupa seperti aku?” tanyaku.
Gadis baik ini menjawab singkat.
“Kamu beruntung,” jawab Ani. Aku tambah kesal. “Kenapa bisa disebut beruntung?”
“Kamu beruntung karena masih punya ibu,” jawab Ani. Aku sedikit kaget.
“Ibuku meninggal beberapa bulan lalu karena kecelakaan. Pindah ke sini karena bapak ingin melupakan momen bersama ibu dan bekerja sebagai pedagang keliling karena di kampung bisnis bapak hancur karena ia terus ingat dengan ibu.”
“Aku dengan ayah sama, perasaanku sama, aku rindu dan hancur tanpa ibu. Berat meninggalkan kampung halaman yang di mana aku besar dengan ibu di sana.”
“Tetapi hidup terus berjalan dan bapak perlu bekerja.”
Aku hanya terdiam mendengar cerita Ani.
“Debi, maaf kalau aku lancang dan mungkin seperti sok tahu. Tapi ingatlah, ibumu masih ada walau berjarak jauh. Kasih sayangnya membuat ibu harus pergi jauh. Tak apa, ibumu pasti pulang. Rindu yang akan terbalaskan meski masih lama itu kangen yang menyenangkan.”
“Sementara aku, kangen ‘ku tak akan terbalas. Rasa kangenku sulit disembuhkan.”
Setelah perbincangan hangat itu hidupku berbalik. Melihat sudut pandang lain dan membuat aku mencoba mengerti posisi ibu. Kini, tak ada kesal karena rindu. Namun aku memilih menunggu dengan bahagia karena kangen ibu.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.
Baca Juga: 9 Contoh Cerpen tentang Kehidupan, Memberi Motivasi dan Inspirasi