Denpasar, Sonora.ID - Dalam persembahyangan selain nunas Tirtha, umat Hindu juga nunas bija (mebija atau mewija).
Bija atau wija di dalam bahasa Sansekerta disebut gandaksata yang berasal dari kata ganda dan aksata yang artinya biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi.
Wija atau bija biasanya dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana.
Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning.
Baca Juga: Makna Hari Raya Kuningan yang Masih Serangkaian dengan Hari Suci Galungan
Makna Bija
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan yang bersemayam dalam diri setiap orang.
Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang.
Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).
Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh.
Tata Cara Menempatkan Bija
Dalam menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an/ Kedewataan dalam tubuh, tentu meletakkannya juga tidak sembarangan.
Ibaratnya menumbuh kembangkan tananam buah kita tidak bisa menamamnya sembarangan haruslah di tanah yang subur.
Maka dari itu menaruh bija di badan manusia ada aturannya, agar dapat menumbuh kembangkan sifat kedewataan /ke-Siwa-an dalam diri.
Hendaknya bija diletakan pada titik-titik yang peka terhadap sifat dari kedewataan /ke-Siwa-an.
Dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa. Yaitu sebagai berikut:
Baca Juga: Perbedaan Candi Hindu dan Budha dari Bentuk, Relief, dan Fungsinya
Pada umumnya dikarenakan ketika persembahyangan dalam sarana pakaian lengkap tentu tidak semua titik-titik tersebut dapat dengan mudah diletakkan bija.
Maka cukup difokuskan pada 3 titik yaitu :
Baca Juga: Walikota Medan Serahkan 15 Ekor Kambing di Perayaan Deepavali Tahun 2022, untuk Umat Hindu
Kenyataannya hingga dewasa ini dalam masyarakat Hindu, selain pada titik-titik diatas. Ada juga yang meletakkan pada titik-titik yang lain.
Misalnya ditaruh diatas pelipis, sebelah luar atas alis kanan dan kiri. Ada juga yang menaruh pada pangkal di telingah bagian luar.
Bisa dikatakan kurang tepat menaruh bija selain pada 3 titik-titik yang telah disebutkan diatas.
Karena titik-titik yang lain dalam tubuh kurang peka terhadap sifat kedewataan atau Tuhan yang ada dalam diri manusia.
Sehingga cukup sulit menumbuh kembangkan sifat Kedewataan dalam diri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dari penggunaan Bija dalam persembahyangan ialah untuk menumbuh kembangkan sifat Kedewataan/ Ke-Siwa-an / sifat Tuhan dalam diri.
Seperti yang disebutkan dalam Upanisad bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu tidak berada di surga atau di dunia tertinggi melainkan ada pada setiap ciptaan-Nya.
Baca Juga: Makna Hari Raya Kuningan yang Masih Serangkaian dengan Hari Suci Galungan