Pesawat Belanda lepas landas dari Bandung menuju Yogyakarta. Selagi pesawat Belanda tengah berangkat ke Yogyakarta, Komisaris Tinggi Belanda Beel melalui radio mengumumkan bahwa Belanda sudah tidak lagi terikat dalam Perjanjian Renville.
Sesampainya di Yogyakarta, angkatan udara dan pasukan terjun payung dikerahkan oleh Belanda untuk membombardir lapangan terbang Maguwo dan kawasan timur kota Yogyakarta.
Serangan udara ini membuat pasukan Indonesia tidak siap. Hanya dalam beberapa jam, sore hari 19 Desember 1945, Yogyakarta sudah berhasil dikuasai oleh Belanda. Setelah mendengar serangan mendadak tersebut, Panglima TNI Jenderal Sudirman menyiarkan perintah kilat melalui radio.
Perintah Kilat bertujuan untuk melawan musuh dengan melakukan perang rakyat semesta.
Di mana para pasukan akan hijrah dengan cara long march ke wilayah masing-masing dan membentuk kekuatan.
Soekarno bersama dengan pemimpin lainnya juga diminta segera mengungsi dan bergabung dengan pasukan gerilyanya.
Baca Juga: Dubes Belanda Tawarkan Bobby Nasution Kerjasama Mengatasi Sampah
Setelah rapat kabinet, mereka menolak untuk menungsi dan memilih tetap tinggal di Yogyakarta.
Soekarno juga memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatra Barat, apabila terjadi sesuatu dengan pimpinan Indonesia di Yogyakarta.
Pertempuran Agresi Militer Belanda II ini telah banyak memakan korban jiwa dan kerusakan masif bagi Indonesia.
Serangan Belanda terhadap Indonesia juga dipublikasikan hingga ke kancah internasional, termasuk Amerika Serikat. Akibatnya, Amerika Serikat memutuskan menghentikan dana bantuan mereka kepada Belanda.
Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai kekuatan besar juga mendesak agar segera dilakukan gencatan senjata dan perundingan damai secepat mungkin.
Akhirnya, tanggal 7 Mei 1949, Agresi Militer Belanda II berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Roem-Royen.