Dalam acara itu, Ibnu mengatakan bahwa hal penting dalam pengembangan industri adalah komponen brainware yang terletak di manusianya.
"Makanya di awal, kami melalui FIN, membina sampai puluhan UKM guna dapat menyuplai pengembangan FIN komodo sampai tahapan produksi," kata Ibnu.
Saat ini perusahaan tersebut sudah berusia 17 tahun di mana mobil yang dikembangkan sudah memasuki generasi kelima sejak 2005 pertama kali dikembangkan.
“Pengembangan industri berbasis teknologi terletak pada orangnya atau brainware-nya”, tambah Ibnu.
Sementara itu, Ketua LPIK-ITB, Joko Sarwono, PhD memaparkan tentang bagaimana tantangan pengembangan riset dan inovasi di kampus dengan mengambil best practice dari Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK).
Baca Juga: 1.000 Pohon Ditanam Bio Farma di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi
Sarwono mengatakan, bahwa LPIK menerapkan 3 kefokusan yaitu riset inovasi yang diukur dari tingkat kematangan teknologi (Technology Readiness Level-TRL), pengembangan kewirausahaan, dan kantor transfer teknologi (Technology Transfer Office-TTO).
Selanjutnya ia juga mengutarakan hambatan inovasi di Perguruan Tinggi yaitu di sisi terlalu fokus pada kuantitas dan regulasi yang tidak mendukung.
“Hambatan inovasi di Perguruan Tinggi salah satunya diakibatkan karena ukuran inovasi masih terbatas pada KPI (Key Performance Index) di kuantitas. Selain itu juga di regulasi yang belum berpihak," ungkap Sarwono.
Sebagai contoh, kata Sarwono, ITB telah mengembangkan mobil listrik sejak 2010, namun sampai saat ini belum bisa dikatakan behasil karena dukungan seperti regulasi belum cukup.
Diketahui, Gambaran FIN Komodo dan LPIK ITB, merupakan bagian dari isi buku berjudul “Transfer Teknologi untuk Inovasi: dari Riset ke Industri”.
Buku ini sendiri ditulis oleh peneliti dari Management of Technology Laboratory (MoT Lab) SBM-ITB yaitu Dr.rer.pol. Eko Agus Prasetio, Uruqul Nadhif Dzakiy MT, dan Dedy Sushandoyo PhD.
Penulis: Fernando Oktareza
Berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.