Kedua, Kementerian Kesehatan dan bupati atau walikota melalui Dinas Kesehatan harus mampu membangun sistem komunikasi antara FKTP dengan dokter obgyn atau dokter kandungan, jika perlu dengan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). Menurut Edy hal ini penting karena dokter obgyn dapat menjadi mentor puskesmas.
“Jika ada kasus yang perlu dikonsultasikan, bisa mudah dilakukan. Begitu juga jika ada tindakan gawat,” ungkapnya.
Dia juga mengingatkan agar sistem rujukan untuk ibu hamil tidak berbelit.
Organisasi profesi seperti IDI, PPNI, dan IBI, memiliki tanggungjawab memastikan anggotanya dalam praktek.
"Pengurus organisasi profesi harus memperhatikan anggotanya apakah sesuai dengan standar profesi atau tidak,” ucap Edy.
Ketiga, di rumah sakit rujukan harus memiliki PONEK yang mumpuni.
"Artinya tidak hanya ada ruangan. Alat dan tenaga kesehatan pun harus disediakan,” ujarnya.
Setidaknya dokter spesialis kandungan, anak, dan anastesi harus tersedia. Begitu juga dengan perawat maupun bidan.
Baca Juga: Ini Syarat Penerima Subsidi Motor Listrik Rp 7 Juta, Kamu Termasuk?
“Pastikan ada yang stand by atau on call. Sehingga jihttps://news.google.com/publications/CAAqBwgKMPLVlQsw-vesAw?ceid=ID:id&hl=id&gl=IDka ada kasus kegawatan tim bisa segera bekerja,” kata Edy.
Dia menambahkan, pemerintah daerah seperti bupati maupun walikota juga berupaya agar RSUD memiliki dokter spesialis serta penunjangnya.
Lalu bagaimana jika ruangan PONEK penuh? Menurut Edy rumah sakit harus memiliki menejemen yang baik.
“Misalnya ketika harus membuka ruangan lain, tata laksana itu harus disiapkan,” kata Edy.
Dia meminta pemerintah daerah agar mengontrol RSUD agar pelayanan sesuai dengan SOP. (Saorta Marbun)
Baca berita update lainnya dari Sonora.ID di Google News