Sonora.ID - Jika dilihat dari aspek tertentu ogoh-ogoh memiliki beberapa definisi, bagi orang awam ogoh–ogoh adalah boneka raksasa yang diarak keliling desa pada saat menjelang malam sebelum hari Suci Nyepi (ngerupukan) yang diiringi dengan gamelan bali yang disebut Bleganjur, kemudian untuk dibakar.
Menurut Wilkipedia bahasa Indonesia,”Ogoh-ogoh adalah seni patung dalam kebudayaan bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Khala,” Bhuta berarti waktu yang tidak terukur, sedangkan Khala berarti kekuatan.
Dari arti kata diatas maka para cendekiawan Hindu Dharma mengambil kesimpulan bahwa proses perayaan Ogoh-ogoh melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta, dan waktu yang maha dasyat, kekuatan itu dapat dibagi dua, pertama kekuatan Bhuana Agung, yang artinya kekuatan alam raya, dan kedua adalah kekuatan Bhuana Alit yang bearti kekuatan dalam diri manusia. Kedua kekuatan ini dapat digunakan untuk menghancurkan atau membuat dunia bertambah indah.
Baca Juga: Pembuatan Ogoh-Ogoh Nyepi Saka 1945, Sekaa Teruna di Denpasar Dapat Uang Pembinaan Rp 10 Juta
Awal Mula Munculnya Ogoh-Ogoh
Banyaknya versi yang yang beredar di masyarakat Bali yang menjelaskan tentang awal mula munculnya ogoh-ogoh tersebut, sehingga untuk mengetahui kapan awal mula munculnya ogoh-ogoh secara pasti sangatlah sulit.
Diperkirakan ogoh-ogoh tersebut dikenal sejak jaman Dalem Balingkang dimana pada saat itu ogoh-ogoh digunakan pada saat upacara pitra yadnya (upacara yang pemujaan yang ditujukan kepada para pitara dan kepada roh-roh leluhur umat hindu yang telah meninggal dunia).
Pendapat lain menyebutkan ogoh-ogoh tersebut terinspirasi dari tradisi Ngusaba Ndong-Nding di desa Selat Karangasem.
Perkiraan lain juga muncul dan menyebutkan barong landung yang merupakan perwujudan dari Raden Datonta dan Sri Dewi Baduga (pasangan suami istri yang berwajah buruk dan menyeramkan yang pernah berkuasa di Bali) merupakan cikal-bakal dari munculnya ogoh-ogoh yang kita kenal saat ini. Informasi lain juga menyatakan bahwa ogoh-ogoh itu muncul tahun 70-80an.
Ada juga pendapat yang menyatakan ada kemungkinan ogoh-ogoh itu dibuat oleh para pengerajin patung yang telah merasa jenuh membuat patung yang berbahan dasar batu padas, batu atau kayu, namun disisi lain mereka ingin menunjukan kemampuan mereka dalam mematung, sehingga timbul suatu ide untuk membuat suatu patung dari bahan yang ringan supaya hasilnya nanti bisa diarak dan dipertunjukan.
Baca Juga: Mengenal Makna dari Rangkaian Kegiatan Umat Hindu di Hari Raya Nyepi
Arak-arakan Ogoh-ogoh
Dalam rangkaian Nyepi di Bali yang bertepatan dengan Sasih Kesange (bulan kesange) atau pada penanggalan masehi bertepatan dibulan Maret, upacara yang dilakukan berdasarkan wilayah adalah sebagai berikut:
Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding.
Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipajangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) yang di tambahi dengan penjor atau dalam bahasa Indonesia biasa disebut umbul-umbul dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya.
Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar.
Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.
Upacara Bhuta Yajna di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 – 12.00 (kala tepet).
Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari).
Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngerupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur.
Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian.
Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Sejak tahun 80-an, umat hindu mengusung ogoh-ogoh yang dijadikan satu dengan acara mengelilingi desa dengan membawa obor atau yang diebut acara ngerupuk.
Sebelum memulai pawai ogoh-ogoh para peserta upacara atau pawai biasanya melakukan minum-minuman keras traditional yang dikenal dengan nama arak Pada umumnya ogoh-ogoh di arak menuju sutau tempat yang diberi nama sema(tempat persemanyaman umat hindu sebelum di bakar dan pada saat pembakaran mayat) kemudian ogoh-ogoh yang sudah diarak mengelilingi desa tersebut dibakar.
Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai dengan diiringi irama gamelan khas bali yang diberi nama BleganjurPatung yang dibuat dengan bahan dasar bambu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngerupuk.
Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara.
Makna yang Terkandung dalam Pawai Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia: adharma svarupa; sehingga pengarakannya berbagai lokasi di sekitar banjar atau desa, yang melewati jalan-jalan utama sehingga tampak oleh semua warga banjar yang memiliki suatu makna tersendiri.
Kehidupan selalu memiliki elemen yang positif maupun negatif, hal ini selalu ada di dalam diri manusia, dan jika kita bijaksana untuk bersedia melihatnya, kita tidak akan menyangkalnya.
Ogoh-ogoh yang dibangun bersama secara swadaya oleh masyarakat banjar, secara implisit, memberikan ide bagi kita semua untuk bersedia melihat sifat-sifat negatif dalam diri kita, dan menjadi terbuka akannya, bahwa hal itu bukanlah hal yang harus ditakuti, namun untuk kita lihat dan amati bersama, sehingga kita dapat memahaminya. Tradisi ini mengingatkan masyarakat Bali khususnya.
Selain itu ogoh-ogoh diarak keliling desa bertujuan agar setan-setan yang ada di sekitar desa agar ikut bersama ogoh-ogoh, Karena setan-setan tersebut menganggap bahwa ogoh-ogoh tersebut merupakan rumah mereka dan kemudian ikut di bakar.
Sebenarnya hal ini dapat memberikan sedikit gambaran mengenai kepercayaan yang diyakini oleh orang bali, yaitu hal-hal yang terjadi di dunia ini selalu berpasangan, sebagai contoh ada orang baik dan ada juga orang jahat, ada kematian tapi ada juga bayi yang baru lahir, atau pemahaman lebih sederhananya yaitu ada warna hitam ada juga warna putih, jadi apapun yang terjadi dalam kehidupan manusia selalu berjalan dengan seimbang, jadi ritual meminum arak bagi orang yang mengarak ogoh-ogoh di anggap sebagai perwakilan dari sifat buruk yang ada di dalam diri manusia.
Bahwa beban dari berat yang mereka gendong adalah sebuah sifat negatif, seperti cerminan sifat-sifat raksasa, ketika manusia menyadari hal ini, mereka tidak akan menahan elemen-elemen ini sendirinya, dan membiarkan elemen ini menjadi tiada seperti abu dan debu yang tertiup angin.
Sehingga biasanya, secara tradisional, di akhir pengarakan ogoh-ogoh, masyarakat akan membakar figur raksasa ini, boleh jadi dikatakan membakar (membiarkan terbakar habis) sifat-sifat yang seperti si raksasa.
Ketika semua beban akan sifat-sifat negatif yang selama ini mengambil (memboroskan) begitu banyak energi kehidupan seseorang, maka seseorang akan siap memulai sebuah saat yang baru, ketika segalanya menjadi hening, masyarakat diajak untuk siap memasuki dan memaknai Nyepi dengan sebuah daya hidup yang sepenuhnya baru dan berharap menemukan makna kehidupan yang sesungguhnya bagi dirinya dan segenap semesta.
Baca Juga: Pameran Ogoh-ogoh Mini, Wadahi Kreativitas Generasi Muda Bali
Bentuk Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh sendiri memiliki peranan sebagai simbol atau pemvisualisasian prosesi penetralisiran kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan Bhuta (kekuatan alam).
Di mana ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi ini merupakan perwujudan Bhuta kala yakni unsur alam yang terdiri dari air, api, cahaya, tanah, dan udara yang divisualkan dalam wujud yang menyeramkan dan bentuknya yang sangat besar, karena jika kekuatan alam itu berlebihan tentunya akan menjadi kekuatan yang merusak dan menyeramkan, ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.
Pada awal mula diciptakannya ogoh-ogo dibuat dari rangka kayu dan bambu sederhana, rangka tersebut dibentuk lalu dibungkus kertas.
Pada perkembangan jaman yang maju pesat ogoh-ogoh pun terimbas dampaknya, ogoh-ogoh makin berinovasi, ogoh-ogoh dibuat dengan rangka dari besi yang dirangkaikan dengan bambu yang dianyam, pembungkus bodi ogoh-ogoh pun di ganti dengan gabus atau stereofoam dengan teknik pengecatan.
Tema ogoh-ogoh pun semakin berfariasi, dari tema pewayangan, modern, porno sampai politik yang tidak mencerminkan makna agama. Tema ogoh-ogoh yang diharapkan adalah sesuai dengan nilai agama Hindu yaitu tidak terlepas dari Tuhan, Manusia dan Buta Kala sebagai penyeimbang hubugan ketiganya.
Ogoh-ogoh simbol Kala ini haruslah sesuai dengan sastra agama yang diatur dalam pakem dan bukan seperti yang beberapa dibuat saat ini, karena banyak kita lihat kala dibuat berbentuk manusia lucu, rocker, punk, manusia, raksasa sexy dan seronok. Tapi dari sudut pandang lain mengatakan ogoh-ogoh itu merupakan kreativitas anak muda yang mengekploitasi bentuk gejala alam dan fenomena sosial yang terjadi dimasyarakat saat ini jadi tidak perlu adanya pembatasan ataupun pengekangan dalam berekspresi.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.