Makassar, Sonora.ID - Perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini membuat petani garam di Sulawesi Selatan gigit jari.
Pasalnya, hasil panen garam mereka anjlok karena cuaca ekstrem dan tidak menentu. Kondisi tersebut berlangsung sejak tahun 2020.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Selatan, produksi garam Sulsel pada 2020 hanya menyentuh angka 45.310 ton.
Padahal, produksi garam pernah mencapai 140.338 ton pada tahun 2019, atau yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Sayangnya pada 2021, produksi garam Sulsel kembali menurun drastis yakni berada pada angka 1.283 ton.
Lalu, pada 2022 sedikit meningkat namun tidak signifikan yakni hanya 3.282 ton.
Kepala DKP Sulsel, Muhammad Ilyas tak menampik, perubahan iklim menjadi salah satu penyebab produksi garam terus merosot.
Ia mencontohkan, di Kabupaten Kepulauan Selayar di mana para petani telah bersiap menuju tempat pengeringan garam namun tiba-tiba hujan deras.
"Garam yang tadinya sudah kering akhirnya kembali terendam air tawar sehingga tidak bisa diproduksi," ujar Ilyas.
Kondisi ini, kata Ilyas, berbeda dengan dulu ketika petani masih bisa memprediksi kapan musim kemarau, musim peralihan dan musim hujan.
Terlebih petani garam di Sulsel masih menggunakan metode tradisional yakni mengandalkan sinar matahari.
Baca Juga: Garam Ternyata Bisa Bikin Gigi Putih, Simak 6 Cara Lainnya untuk Memutihkan Gigi!
Tak heran, produksi garam secara otomatis terganggu jika cuaca tidak stabil utamanya curah hujan tinggi.
Untuk itu, pihaknya akan mencoba penggunaan teknologi dalam produksi garam misalnya sistem tunnel atau terowongan.
"Kita memberikan bantuan kepada beberapa petani dengan teknologi-teknologi itu untuk membantu supaya tidak tradisional sekali," kata Ilyas.
Ilyas menyebut, saat ini Sulsel memiliki lima daerah penghasil garam yakni Kabupaten Maros, Pangkep, Takalar, Jeneponto dan Selayar.
Produksi garam di 5 daerah tersebut tetap akan didorong sehingga bisa kembali mencapai jumlah yang diharapkan.