Aspek sosial seperti keluarga, nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung korupsi. Contohnya, masyarakat menghargai seseorang dari kekayaan yang dimilikinya atau masyarakat terbiasa memberikan gratifikasi kepada pejabat.
Dalam sebuah teori partikularisme yang disampaikan oleh Edward Banfeld dijelaskan bahwa tekanan keluarga seperti adanya perasaan kewajiban untuk membantu dan membagi sumber pendapatan dapat memunculkan nepotisme yang berujung korupsi.
Tujuan politik untuk memperkaya diri pada akhirnya menciptakan money politics (politik uang) yang membuat seseorang bisa menang dengan membeli suara atau menyogok para pemilih atau anggota-anggota partai politiknya.
Pejabat yang berkuasa dengan money politics biasanya hanya ingin mendapatkan harta. Selain itu, praktik balas jasa politik seperti jual beli suara di DPR atau dukungan partai politik juga mendorong pejabat untuk korupsi.
Dari sisi perundang-undangan pihak koruptor biasanya akan mencari celah di dalamnya untuk melancarkan aksinya.
Sementara itu, dari segi lemahnya penegakan hukum membuat koruptor tidak jera bahkan semakin berani sehingga korupsi terus terjadi.
Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi, misalnya, tingkat gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Akan tetapi, nyatanya korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-pasan. Korupsi dalam jumlah besar justru dilakukan oleh orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi.
Organisasi ini membuka peluang seseorang melakukan korupsi karena tidak adanya teladan integritas dari pemimpin, kurang memadainya sistem akuntabilitas, dan lemahnya sistem pengendalian manajemen.
Organisasi bahkan bisa mendapatkan keuntungan dari korupsi pada anggotanya yang menjadi birokrat dan bermain di celah-celah peraturan.
Baca Juga: Simak 5 Bentuk Ancaman di Bidang Ekonomi di Indonesia
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.