Sonora.ID - Simak ulasan tentang kisah perjuangan Ki Hajar Dewantara, Pahlawan Nasional yang jadi Bapak Pendidikan Indonesia.
Sosok Ki Hajar Dewantara tak bisa dilepaskan dari peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Bahkan hari kelahirannya pada 2 Mei ditetapkan menjadi Hari Pendidikan Nasional.
Hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 tahun 1959 di tanggal 16 Desember 1959.
Kisah perjuangannya hingga mendirikan perguruan Taman Siswa patut dijadikan pembelajaran bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk terus memajukan pendidikan di tanah air.
Baca Juga: 55 Ucapan Selamat Hari Pendidikan Nasional 2023, Bisa Jadi Caption Media Sosial
Mengenal Sosok Ki Hajar Dewantara
Sebelum mengetahui kisah perjuangan Ki Hajar Dewantara, kita perlu mengetahui terlebih dahulu siapa sebenarnya sosoknya.
Ki Hajar Dewantara lahir sebagai keturunan bangsawan dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat pada 2 Mei 1889.
Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Ario Suryaningrat dan ibunya yang bernama Raden Ayu Sandiah merupakan bangsawan Puro Pakualaman Yogyakarta.
Nama Ki Hajar Dewantara merupakan nama yang digantinya pada 3 Februari 1928.
Menurut Ki Utomo Darmadi, Hadjar artinya pendidik, Dewan artinya utusan, dan Tara artinya tak tertandingi.
Adapun arti nama Ki Hajar Dewantara adalah Bapak Pendidik Utusan Rakyat yang Tak Tertandingi Menghadapi Kolonialisme.
Sosoknya ikut menentang diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Ia bertekad ingin memperjuangkan hak-hak masyarakat Indonesia yang seringkali didiskriminasi oleh kaum penjajah.
Karena keturunan bangsawan, Raden Mas Suwardi Suryaningrat mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar Belanda.
Setelah tamat di tahun 1904, ia ditawari menjadi mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding Van Indische Artsen) – Sekolah Dokter Jawa di Jakarta.
Ia pun mencoba mengikuti pembelajaran di STOVIA sejak tahun 1905-1910. Namun karena sakit, dirinya pun tidak naik kelas dan beasiswanya pun dicabut.
Ada yang menyebut pencabutan beasiswa Suwardi Suryaningrat tidak murni disebabkan karena sakitnya beliau, namun juga sarat akan politik pemerintah Hindia-Belanda.
Diketahui beberapa hari sebelum beasiswanya dicabut, Ki Hajar Dewantara sempat mendeklarasikan sajak yang menggambarkan keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, seorang panglima perang Diponegoro.
Diduga pemerintahan Hindia-Belanda tidak suka dengan sikapnya yang berusaha membangkitkan semangat nasional untuk memberontak.
Terlebih, sosoknya memang sudah dikenal luas sangat kritis terhadap pemerintah Hindia-Belanda.
Baca Juga: Sejarah Hari Pendidikan Nasional 2 Mei
Kisah Perjuangan Ki Hajar Dewantara Sebagai Jurnalis yang Kritis
Dikutip dari laman Kemendikbud RI, perjuangan Ki Hajar Dewantara terus berlanjut meski tak jadi dokter.
Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara menjadi seorang jurnalis dan tergabung dengan sejumlah organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij.
Kritikan pedas yang khas dari sosoknya makin mengusik pemerintah Hindia-Belanda.
Salah satu kritikannya dilakukan untuk menentang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda di Indonesia.
Ia berpendapat bahwa penjajah tidak sepatutnya merayakan kemerdekaan di tanah jajahannya, bahkan dibiayai oleh rakyat pribumi.
Kritik dan protes itu dituliskan Suwardi dalam risalah bertajuk “Als ik eens Nederlander was” (Andai aku seorang Belanda) yang terbit pada Juli 1913.
Risalah tersebut dicetak sebanyak 5.000 eksemplar hingga membuat pemerintah Hindia-Belanda geram.
Baca Juga: 25 Kata-kata Bijak Ki Hajar Dewantara untuk Hari Pendidikan Nasional
Kisah Perjuangan Ki Hajar Dewantara saat Pengasingan ke Belanda
Bersama teman seperjuangannya Di Indische Partij, yakni Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (dikenal dengan Danudirja Setiabudi) dan dr. Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara diasingkan ke Belanda.
Tiga orang yang dijuluki “Tiga Serangkai” ini diasingkan namun tak membuat perjuangannya untuk membela hak-hak masyarakat Indonesia melemah.
Ki Hajar Dewantara bertahan hidup di Belanda dengan mengandalkan kemampuannya sebagai jurnalis surat kabar dan majalah Belanda.
Surat-surat kabar Belanda yang bersikap sangat bersahabat dengan Tiga Serangkai yaitu “Het Volk” dan “De Nieuwe Grone Amsterdamer” memberi kesempatan kepada mereka untuk menulis dan menyalurkan pikiran-pikiran tentang cita-cita perjuangan kemerdekan bangsa Indonesia.
Berkat pengaruh dan tulisan-tulisan mereka, penghimpunan para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang tergabung dalam “Indische Vereeniging” semakin menonjolkan semangat kebangsaan dan semangat kemerdekaan, dan berani mengubah namanya menjadi “Perhimpunan Indonesia”.
Di masa pengasingan ini, kemampuan dan pemahaman Ki Hajar Dewantara terkait sejarah sosial pendidikan makin matang.
Ia pun banyak mempelajari tentang pendidikan dan pengajaran di Belanda.
Kisah Perjuangan Ki Hajar Dewantara Membangun Perguruan Taman Siswa
Sekembalinya ke Indonesia, sang istri pun mengingatkannya tentang gagasannya yang pernah disampaikan pada kepada K. H. Ahmad Dahlan tentang harus adanya perguruan nasional yang mendidik kader-kader perjuangan untuk menentang penjajah.
Terinspirasi hal tersebut, ia bersama beberapa rekan mendidikan “Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa” di Kota Yogyakarta pada 3 Juli 1922.
Perguruan Nasional Taman Siswa ini membuka satuan pendidikan dari tingkat kanak-kanak hingga menengah atas.
Kehadiran Perguruan Taman Siswa ini disambut positif oleh masyarakat.
Setelah di Yogyakarta, mulai didirikan ratusan perguruan Nasional Taman Siswa yang tersebar di seluruh Indonesia.
Setelah 37 tahun berdiri, kisah perjuangan Ki Hajar Dewantara harus berakhir karena dirinya tutup usia pada 26 April 1959 di Padepokan Ki Hajar Dewantara.
Jasadnya disemayamkan di Pendopo Agung Taman Siswa Yogyakarta.
Demikian ulasan tentang kisah perjuangan Ki Hajar Dewantara sejak ia lahir hingga wafat.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News