Persetujuan ini diteken oleh Menlu Soebardjo dengan Duta Besar Amerika, Merle Cochran.
Persetujuan ini ditafsirkan bahwa Indonesia telah memasuki blok Barat yang bertentangan dengan politik luar negeri bebas dan aktif.
Saat itu Soebardjo hanya melaporkan kepada Sukiman tanpa konsultasi dengan Menteri Pertahanan Sewaka dan Pimpinan Angkatan Perang.
Mosi Sunario menuntut agar semua perjanjian yang bersifat internasional harus disahkan oleh Parlemen.
Mosi ini disusul oleh tuntutan PNI agar kabinet mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Akibat mosi ini, Menteri Luar Negeri Subardjo mengundurkan diri dari jabatannya.
Pada 23 Februari 1952, kabinet ini dinyatakan demisioner, artinya harus mengembalikan mandat kepada presiden meskipun masih melaksanakan tugas sehari-hari sampai menunggu dilantiknya kabinet baru.
Akibat jatuhnya Kabinet Sukiman, Indonesia kembali mengalami krisis pemerintahan.
Pada masa dua tahun sejak Negara Kesatuan RI terbentuk menggantikan RIS, kabinet sudah berganti dua kali.
Selain faktor tersebut, kabinet-kabinet di masa demokrasi liberal ini jatuh dan hanya bertahan kira-kira satu tahun karena adanya 10 partai dan beberapa fraksi dalam Parlemen yang mayoritasnya anggota Masyumi dan PNI.
Untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat perlu dukungan dari kedua partai terbesar itu, padahal hampir selalu terdapat ketidakserasian antar keduanya.
Dari internal kedua partai sendiri terdapat kelompok yang saling bertentangan.
Misalnya di dalam Masyumi, terdapat kelompok Moh. Natsir dan kelompok dr.Sukiman.
Adapun dalam PNI, terdapat kelompok Mr. Sartono dan kelompok Mr. Sujono Hadinoto.
Demikian penjelasan mengenai penyebab jatuhkan kabinet Sukiman pada masa demokrasi liberal diberlakukan di Indonesia.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News