Terlebih saat kupandangimu bintang
Bercumbu pada sang rembulan
Gemeretak bunyi hatiku patah
Remuk oleh gumpalan kecewa
Kau tahu kenapa?
Sebab rindu yang menggebu
Sebatas semu
7. Untuk Satu Nama
Aku mengukir sendiri namamu dengan huruf kapital tebal
Menggoreskan tinta abadi dengan tekanan teramat dalam
Berharap kau adalah satu-satunya pemilik kenanganku tentang berdua
Jatuh cinta padamu di setiap detik kebersamaan
Aku suka saat kau menari diantara tetesan hujan
Basah membuat tubuhmu berbunga
Aku suka kau bicara
Merdu mengalahkan kicauan alam
Bahkan kau terdiam, aku jatuh cinta
Kedamaian menghipnotis di setiap tatapan
Tidak ada bosan aku melihat kau bermain dengan angin
Hempasan itu menyebarkan aroma tubuh yang wangi menenangkan
Duduk meratap, kusediakan dua cangkir
Mencicipi keduanya solah kau ikut menengguk
Lihatlah,
Satu nama abadi dalam hatiku
Tertulis jelas tidak akan pernah hilang
Untuk sebuah nama aku menunggu
Hanya satu cinta bersamamu yang ku mau
Baca Juga: Puisi Tentang Hewan Peliharaan yang Mengandung Pembelajaran
Puisi tentang rindu untuk sahabat
8. Mengenai Tawa Yang Hilang
Bila tidak ada penerapan kata abadi untuk kisah yang tepat, maka akan ku pinjam sebentar untuk melengkapi penggalan kisah kita
Tertoreh dalam perjalanan tanpa jeda, suara tawa seakan menjadi gema yang memekakkan penjuru bumi
Air mata buaya ku anggap tepat untuk permusuhan yang hilang dengan satu kedipan mata
Apa yang kita perebutkan? Jika semua bisa di bagi dua
Kau tampak kekanakan dan mungkin aku masih tampak demikian waktu itu
Tinggi kita mungkin tak lebih dari sepertiga orang dewasa
Tapi orang dewasa mana yang bisa sebahagia memiliki kesenangan seperti yang kita miliki
Apapun, daun kering, tanah basah, cacing tanah dan ulat bulu seperti terlihat lucu
Menyuarakan tawa, menyusun mimpi, menguatkan, dan kita melupakan
Akhir dari kisah abadi yang harus ku akui tidak akan pernah ada
Tumbuh dewasa melupakanmu untuk tetap menggaduhkan bumi, bersamaku
9. Satu Taman di Masa Kecil
Aster tetap berbunga, bersahutan dengan anggrek yang tetap menjadi penguasa
Berjejer membentuk pola lurik yang sama degan selimut di kamarku
Satu-satunya tempat yang memisahkan hari-hari kita bersama
Kau pasti tahu, betapa asik bersembunyi di bawah rak bambu
Menemukan tempat bersembunyi untuk berbagi secuil roti
Membisikkan kata rahasia mengenai rahasia alam raya yang kita hayalkan
Ah… tentu tidak demikian,
Kami hanya anak-anak usia empat tahun dengan markas pinjaman
Dalam bungkus dinding bening orang menyebutnya sebuah rumah kaca
Puisi tentang rindu untuk orang tua
10. Pelukan Doa
Di bumi yang terpijak jauh aku akan meninggalkan tahta sebagai putra mahkota
Melepaskan baju kebesaran, dan memakai pakaian yang sama dengan rakyat kebanyakan
Tanpa gelar, tanpa penghormatan dan tanpa keistimewaan
Berjalanlah aku menuju bumi yang jauh seperti yang kau ceritakan
Bersama dengan perajut mimpi
Penenun harapan dan penyair keindahan masa depan
Keraguan membayangi untuk bisa bertahan di bumi asing
Dalam ikatan lontar waktu yang tak sebentar harus ku lalui tanpa pengawalan
Tidak ada senjata yang selalu kabur bawa dekat
Tanpa tameng kau melepas aku pergi
Katamu, satu kemenangan yang akan ku bawa pulang adalah kemandirian
Katamu, hal terbaik yang akan membuat tahtaku tidak goyah adalah iman
Dan katamu, tanpa bekal setengah abad yang lalu kalian pun sama
Katamu, pelukan doa yang kau rapal akan selalu menjaga ku
Baca Juga: 10 Puisi Tentang Ibu Tercinta yang Mengharukan dan Menguras Air Mata
11. Dongeng Penghujung Hati
Masa yang mengambil memori paling banyak
Menyisakan sedikit untuk aku gunakan kembali dengan mengisi semua ruang mengenai masa itu
Surau telah tidak memiliki teman berbagi sepi
Bergandengan kami menyusuri pematang sangat becek di musim penghujan tiba
Rumah hanya menyisakan satu lampu tetap menyala
Televisi hitam putih terbiasa berdiam sebagai saksi
Dua puluh lima penggalan kisah terus berulang berputar bagai bianglala yang selalu membawa tawa bahagia
Anggukan mengerti, dan komat-kamit mulut mengucap doa
Aku duduk bersila dengan cerita ribuan tahun lalu dibangkitkan seperti duduk bersama
Dua puluh lima nama,aku hafal seperti nyanyian
Dia Adam sebagai yang pertama
Setelah shalat isya selesai surau tegakkan
12. Kembali Pulang
Sirnalah sudah sirna sebuah mimpi
Tergerus oleh waktu aku tak bisa melawan
Terlalu lemah untuk kami yang tak mendapat jatah cipratan Qarun menyimpan petaka
Semua bilang sistem berkeadilan, semua sama rasa sama rata
Hari ini ia kembali pulang, setelah mengembara membuktikan sebuah keyakinan
Bumi yang adil, bumi yang penyayang
212 bangsal tempat iya berpulang, menahan pedih tanpa dolar peringan
Dia keras kepala, kepala batu dengan jeruji besi melingkar kataku
Aku mengingatkan ketika suaraku tidak lagi merdu
Kebaikan yang kau anggap sumber kehidupan akan membunuhmu
Rasa welas tidak ada untuk kita yang tidak memiliki sepanci beras
212 yang tertulis di mana pun akan tetap menyakitkan
Mengingatkan pada suara lemah penebar benih kebaikan
Kita yang tidak menanam tidak akan perah mencicipi buahnya, katamu
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.