Sonora.ID - Berikut adalah penjelasan mengenai pengarang dan isi Kitab Sutasoma, lengkap dengan penjelasan soal 'Bhinneka Tunggal Ika' yang berasal darinya.
Kitab Sutasoma merupakan salah satu karya sastra klasik yang memiliki kedudukan istimewa dalam tradisi sastra Jawa.
Kitab ini ditulis oleh seorang pujangga terkenal pada masanya bernama Mpu Tantular. Karya yang ditulis dalam bentuk syair ini mengisahkan perjalanan seorang pangeran bernama Sutasoma dalam menghadapi cobaan dan tantangan kehidupan.
Isi Kitab Sutasoma secara umum mencerminkan nilai-nilai kebijaksanaan, ketekunan, dan keberanian dalam menghadapi konflik batin dan luar.
Cerita tersebut juga menggambarkan konsep Bhinneka Tunggal Ika yang dikenal sebagai semboyan kebhinekaan Indonesia.
Konsep ini mengajarkan bahwa meski berbeda-beda, kita tetap satu dalam persatuan.
Pada intinya, Kitab Sutasoma mengajarkan nilai-nilai moral dan spiritual yang relevan hingga saat ini.
Dalam perjalanan Sutasoma, pembaca akan memperoleh hikmah tentang pentingnya menjaga kesucian hati, menjauhi godaan kejahatan, serta mengembangkan sikap tenggang rasa dan toleransi terhadap perbedaan.
Baca Juga: Sejarah Kerajaan Tarumanegara: dari Berdiri hingga Masa Keruntuhan
Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang Kitab Sutasoma, termasuk latar belakang pengarangnya, isi ceritanya yang penuh makna, serta pesan-pesan universal yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Maka, untuk tahu lebih jauh, simak penjelasan mengenai pengarang dan isi Kitab Sutasoma sekaligus paparan soal istilah Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana yang Sonora kutip dari Kompas.com berikut ini.
Rangkuman Isi Kitab Sutasoma
Kitab Sutasoma berisi kisah upaya Sutasoma sebagai titisan Sang Hyang Buddha untuk menegakkan dharma.
Sutasoma adalah putra Prabu Mahaketu dari Kerajaan Astina yang lebih menyukai memperdalam ajaran Buddha Mahayana daripada harus menggantikan ayahnya menjadi raja.
Maka pada suatu malam, Sutasoma pergi ke hutan untuk melakukan semedi di sebuah candi dan mendapat anugerah.
Sutasoma kemudian pergi ke pegunungan Himalaya bersama beberapa pendeta.
Sesampainya di sebuah pertapaan, sang pangeran mendengarkan riwayat cerita tentang raja, reinkarnasi seorang raksasa, bernama Prabu Purusada yang senang memakan daging manusia.
Para pendeta dan Batari Pretiwi membujuk Sutasoma agar membunuh Prabu Purusada. Namun, Sutasoma menolak karena ingin melanjutkan perjalanan.
Baca Juga: Sekda Pimpin Perumusan Naskah Kesepakatan dan Komitmen Terkait Pembangunan Investasi Daerah
Di perjalanan, sang pangeran bertemu dengan raksasa berkepala gajah pemakan manusia dan ular naga. Si raksasa dan ular naga yang tadinya ingin memangsa Sutasoma berhasil ditaklukkan.
Setelah mendengar khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha, keduanya bersedia menjadi muridnya.
Sang pangeran juga bertemu dengan harimau betina yang akan memakan anaknya sendiri.
Sutasoma sempat mati karena bersedia menjadi mangsa harimau itu. Lalu datanglah Batara Indra dan Sutasoma dihidupkan kembali.
Tersebutlah sepupu Sutasoma bernama Prabu Dasabahu, berperang dengan anak buah Prabu Kalmasapada (Purusada).
Anak buah Prabu Kalmasapada kalah dan meminta perlindungan Sutasoma.
Prabu Dasabahu yang terus mengejar akhirnya tahu bahwa Sutasoma adalah sepupunya, lalu di ajak ke negerinya dan dijadikan ipar.
Setelah kembali ke Astina, Sutasoma dinobatkan sebagai raja bergelar Prabu Sutasoma.
Cerita dilanjutkan dengan kisah Prabu Purusada dalam membayar kaul kepada Batara Kala supaya bisa sembuh dari penyakitnya.
Purusada telah mengumpulkan 100 raja, tetapi Batara Kala tidak mau memakan mereka.
Prabu Sutasoma bersedia menjadi santapan Batara Kala sebagai ganti atas 100 raja sitaan Purusada.
Mendengar permintaan raja Astina, Purusada menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji tidak akan memakan daging manusia lagi.
'Bhinneka Tunggal Ika' dalam Kitab Sutasoma
Kakawin Sutasoma dikutip oleh pendiri bangsa Indonesia dalam merumuskan semboyan negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Kutipan frasa Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam Kakawin Sutasoma pada pupuh 139 bait 5, berikut bunyinya.
Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Dalam bait tersebut dikatakan bahwa meskipun Buddha dan Siwa berbeda tetapi dapat dikenali. Sebab kebenaran Buddha dan Siwa adalah tunggal. Berbeda tetapi tunggal, sebab tidak ada kebenaran yang mendua.
Bila diterjemahkan tiap kata, bhinneka artinya beraneka ragam, tunggal berarti satu dan ika berarti itu. Sehingga pengertian Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi tetap satu.
Demikian penjelasan mengenai pengarang dan isi Kitab Sutasoma, lengkap dengan penjelasan soal 'Bhinneka Tunggal Ika' sebagaimana di atas. Semoga bermanfaat.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News
Baca Juga: Proses Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno, Materi Sejarah