Dan kualitas itu dibawa para alumni berkarya di berbagai kota di Indonesia. Ia berharap bahwa pemerintah setempat mau bekerjasama dengan alma maternya untuk mempersiapkan generasi baru demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Rasa syukur juga diungkapkan alumnus SD Xaverius tahun 1973 yakni Agustina Sri Wahyuni. Ia harus bersyukur karena meski merupakan sekolah Katolik, SD Xaverius pada waktu itu telah menanamkan nilai pluralisme kepada para muridnya yang terdiri dari berbagai strata sosial, agama dan etnis.
Ketika sekola, para murid bersatu dan menyatu sebagai Indonesia kecil yang indah, tanpa diskriminasi oleh apapun. Terwujud nilai solidaritas tanpa kamar di antara para murid. Agustina sekarang berdomisili di Yogyakarta. Meskipun jarak memisahkan, ia dengan suka cita membuka bazar yang dimaksudkan untuk memeriahkan Reuni Agung itu.
Sementara Roberthus Hoyan Siubera memiliki kuat atas pondasi yang ditanamkan para Pendidikan SD Xaverius. Yang dikagumi adalah mata pelajar berhitung, menulis halus, budi pekerjti, menyulam, baris berbaris, pemeriksaan kuku, prakarya dan lain-lain. Energi murid menurut Hoyan disalurkan secara positif oleh para guru. Dirinya masih ingat peristiwa ketika menggunakan sepatu Bigboss. Meskipun termasuk sepatu keren pada masanya, sepatu itu tetap ditenteng ketika hujan. Dan, dia harus menerima ketika sepatu di bagian ujung jempol harus rusak terlebih dulu dan menjadi olok-olok rekan-rekannya. Hoyan menganggap bahwa olok-olok itu adalah pendidikan mental secara horizontal.
Baca Juga: Begini Persiapan SD Xaverius 9 Palembang Menggelar PTM
“Saya terpaksa harus mencari tiga bibit mangga sebagai hukuman menyusul dia menebang pohon mangga yang sedang panen dengan menggunakan chinsaw. Padahal 3 bibit mangga itu tidak ada di Pringsewu dan harus mencari sampai ke Bogor dan itupun dibeli dari Babah Punhok, ayah salah satu rekannya,“ ujar Hoyan sambil tertawa.
Cerita Hoyan belum selesai. ”Seorang suster harus marah, kecewa dan mendongkol ketika bunga Wijaya Kusumanya dipotong oleh murid-muridnya. Padahal awalnya suster tersebut ingin menunjukkan kepada para murid pada malam hari, proses pemekaran bunga yang termasuk langka tersebut. Namun pada siangnya, suster tersebut terkejut, ketika mengetahui bunga-bunganya sudah dipotong dan dibawa pulang oleh muridnya,“ kenang Hoyan yang saat ini merupakan pengusaha. Ia berbisnis Smart Green Cleaners serta Digital Display. Ia juga mengembangkan Completation Fluid.
Petrus Sumaryanto, SD Xaverius angkatan 1976. Sejak kecil dirinya telah disekolahkan di sekolah Katolik. Dan karena nilai-nilai humaniora yang telah ditanamkan saat kecil, dirinya merasa tidak kesulitan Ketika menjadi pendidik dengan nilai yang sama.
“Saya bersyukur pada jaman itu masih menikmati uang jajan dengan uang sen rupiah. Bahkan uang Rp 5 dapat mengenyangkan perut seharian. Sehingga tidak mengherankan uang sekolah jaman itu tidak mahal. Meski apa-apa murah, yang tidak murah adalah guru karena mereka menuntut disipilin dan tanggung jawab tanpa reserver. Ya kami ikutlah,” ujar Petrus Sumaryanto.
Hukuman fisik diterima dan itu berlaku sama untuk murid laki-laki ataupun perempuan. Sebagai contoh, Sumaryanto mengenang, ketika mendapat giliran belum lancar membaca, dirinya mendapat hadiah cambuk. Namun hukuman itu kami terima dengan senang dan tanpa dendam. Coba saja, jaman sekarang, pasti sudah dilaporkan dan melanggar HAM. Memang beda, tetapi kami bahagia,“ ujar Petrus Sumaryanto sambil mengacungkan jempol.
Menyambut Reuni Agung SD Xaverius ini, para alumni berharap SD Xaverius dapat melakukan quantum leap – lompatan quantum karena transformasi digital dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang ada selama ini. Hanya saja, diingatkan bahwa tiada pengawasan terhadap gadget akan memiliki dampak negatif pada murid-murid yang tidak kenal waktu dalam beradaptasi atas gadget tersebut. Setidaknya itu ditegaskan oleh salah satu alumnus, Martha Susanti Adwiyani, lulusan SD Xaverius tahun 1967.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.