Sonora.ID - Istilah sosiologi berasal dari kata socius dan logos. Socius (bahasa Latin) berarti kawan dan logos (bahasa Yunani) berarti kata atau berbicara.
Dengan demikian, ilmu sosiologi berarti ilmu yang berbicara mengenai masyarakat. Sosiologi memfokuskan diri pada hubungan-hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat.
Diketahui bahwa perkembangan sosiologi ini dilatarbelakangi oleh revolusi sosial di Prancis. Untuk memahaminya secara lebih baik berikut ini paparan mengenai sejarah perkembangan sosiologi, dikutip dari buku Sosiologi: untuk SMA dan MA Kelas X.
Baca Juga: Pengertian Integrasi Sosial: Syarat, Bentuk, dan Faktor
Sejarah Perkembangan Sosiologi
Di Eropa
Awalnya sosiologi menjadi bagian dari filsafat sosial. Ilmu ini membahas tentang masyarakat. Namun saat itu, pembahasan tentang masyarakat hanya berkisar pada hal-hal yang menarik perhatian umum saja seperti perang, ketegangan atau konflik sosial, dan kekuasaan dalam kelas-kelas penguasa.
Dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan tentang masyarakat meningkat pada cakupan yang lebih mendalam, yakni menyangkut susunan kehidupan yang diharapkan dan norma-norma yang harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Sejak itu, berkembanglah satu kajian baru tentang masyarakat yang disebut sosiologi.
Menurut Berger dan Berger, sosiologi berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap tatanan sosial yang selama ini dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan benar (threats to the taken for granted world).
L. Laeyendecker kemudian mengidentifikasi ancaman tersebut meliputi:
Menurut Laeyendecker, ancaman-ancaman tersebut menyebabkan perubahan-perubahan jangka panjang yang ketika itu sangat mengguncang masyarakat Eropa dan seakan membangunkannya setelah terlena beberapa abad.
Auguste Comte, seorang filsuf Prancis, melihat perubahan-perubahan tersebut tidak saja bersifat positif seperti berkembangnya demokratisasi dalam masyarakat, tetapi juga berdampak negatif.
Salah satu dampak negatif tersebut adalah terjadinya konflik antarkelas dalam masyarakat. Menurut Comte, konflik-konflik tersebut terjadi karena hilangnya norma atau pegangan (normless) bagi masyarakat dalam bertindak.
Comte berkaca dari apa yang terjadi dalam masyarakat Prancis ketika itu (abad ke-19). Setelah pecahnya Revolusi Prancis, masyarakat Prancis dilanda konflik antarkelas.
Comte melihat hal itu terjadi karena masyarakat tidak lagi mengetahui bagaimana mengatasi perubahan akibat revolusi dan hukum-hukum apa saja yang dapat dipakai untuk mengatur tatanan sosial masyarakat.
Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Comte membayangkan suatu penemuan hukum-hukum yang dapat mengatur gejala-gejala sosial. Namun, Comte belum berhasil mengembangkan hukum-hukum sosial tersebut menjadi sebuah ilmu. la hanya memberi istilah bagi ilmu yang akan lahir itu dengan istilah sosiologi.
Meskipun demikian, atas jasanya terhadap lahirnya sosiologi, Auguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya berjudul Rules of Sociological Method.
Meskipun Comte menciptakan istilah sosiologi, Herbert Spencer-lah yang mempopulerkan istilah tersebut melalui buku Principles of Sociology.
Di dalam buku tersebut, Spencer mengembangkan sistem penelitian tentang masyarakat. Ia menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas di masyarakat.
Spencer melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang tersusun atas bagian-bagian yang saling bergantung sebagaimana pada organisme hidup.
Evolusi dan perkembangan sosial pada dasarnya akan berarti jika ada peningkatan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian, dan suatu transisi dari homogen ke heterogen dari kondisi yang sederhana ke yang kompleks.
Setelah buku Spencer terbit, sosiologi kemudian berkembang pesat ke seluruh dunia, termasuk negara Indonesia.
Baca Juga: Perbedaan Paguyuban dan Patembayan Secara Lengkap, Materi Sosiologi SMA
Di Indonesia
Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman dahulu. Para pujangga dan tokoh bangsa Indonesia telah banyak memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-ajaran mereka.
Sri Paduka Mangkunegoro IV, misalnya, telah memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh.
Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak mempraktikkan konsep-konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya.
Hal yang sama dapat juga kita selidiki dari berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19.
Mereka menggunakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami masyarakat Indonesia.
Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologis untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya, yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Dengan kata lain, sosiologi belum dianggap cukup penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.
Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta pada waktu itu menjadi satu-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum.
Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut kemudian ditiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Dalam pandangan mereka, yang perlu diketahui hanyalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya.
Sementara, penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap tidaklah penting.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan.
Soenario Kolopaking yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM).
Akibatnya, sosiologi mulai mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950.
Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di Indonesia.
Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh Djody Gondokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi.
Kehadiran buku ini mendapat sambutan baik dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi saat itu.
Selepas itu, muncul buku sosiologi yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah sosiologi yang ditulis oleh seorang mahasiswa.
Selanjutnya bermunculan buku-buku sosiologi baik yang tulis oleh orang Indonesia maupun yang merupakan terjemahan dari bahasa asing.
Tidak kurang pentingnya, tulisan-tulisan tentang masalah sosiologi yang tersebar di berbagai majalah, koran, dan jurnal.
Selain itu, muncul pula fakultas ilmu sosial dan politik serta jurusan sosiologi berbagai universitas di Indonesia yang diharapkan dapat memperluas perkembangan sosiologi di Indonesia.
Baca Juga: Tokoh Tokoh Sosiologi di Dunia Beserta Teorinya
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.