Ketika malam kembali membenam
kali pun tenteram.
Bulannya sejuk
dan air bernyanyi
tiada henti.
Jika kita marah
pada kekasih
selamanya.
Di bawah pohon sawo
di atas bangku panjang
di bawah langit biru
di atas bumi kelabu
–Istirahlah dua buah hati rindu.
Adalah dua burung
bersama membuat sarang.
Kami berdua serupa burung
terbang tanpa sarang.
Gelisahmu adalah gelisahku.
Berjalanlah kita bergandengan
dalam hidup yang nyata,
dan kita cintai.
Lama kita saling bertatap mata
dan makin mengerti
tak lagi bisa dipisahkan.
Engkau adalah peniti
yang telah disematkan.
Aku adalah kapal
yang telah berlabuh dan ditambatkan.
Kita berdua adalah lava
yang tak bisa lagi diuraikan.
Cinta kita berdua
adalah istana dari porselen.
Angin telah membawa kedamaian
membelitkan kita dalam pelukan.
Bumi telah memberi kekuatan,
kerna kita telah melangkah
dengan ketegasan.
Janganlah jauh
bagai bulan
hanya bisa dipandang.
Jadilah angin
membelai rambutku.
Dan kita nanti
akan selalu berjamahan.
Kekasihku seperti burung murai.
Suaranya merdu.
Matanya kaca.
Hatinya biru.
Kekasihku seperti burung murai.
Bersarang indah di dalam hati.
Muraiku,
hati kita berdua adalah pelangi selusin warna.
Bunga gugur
di atas nyawa yang gugur
gugurlah semua yang bersamanya
Kekasihku.
Bunga gugur
di atas tempatmu terkubur
gugurlah segala hal ikhwal antara kita.
Baiklah kita ikhlaskan saja
tiada janji ‘kan jumpa di sorga
karena di sorga tiada kita ‘kan perlu asmara.
Asmara cuma lahir di bumi
(di mana segala berujung di tanah mati)
ia mengikuti hidup manusia
dan kalau hidup sendiri telah gugur
gugur pula ia bersama sama.
Ada tertinggal sedikit kenangan
tapi semata tiada lebih dari penipuan
atau semacam pencegah bunuh diri.
Mungkin ada pula kesedihan
itu baginya semacam harga atau kehormatan
yang sebentar akan pula berantakan.
Kekasihku.
Gugur, ya, gugur
semua gugur
hidup, asmara, embun di bunga –
yang kita ambil cuma yang berguna.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.