Perlahan suara langkah kaki mendekat ke arahku. Aku saat itu memegang sebuah clurit dan satu senapan laras panjang curian Ayah yang diberikan padaku. Jika ini akhir dari hidupku, Aku merasa bangga bahwa Aku melakukan ini untuk negaraku.
Langkah kaki itu mulai mendekat dan..
CLEB!
Clurit yang Aku pegang yang sebelumnya telah berlumuran darah itu menancap dengan kuat di perut sang Jenderal. Darahnya mulai mengalir dari perut, dan mulutnya. Ia tersenyum padaku lalu jatuh tersungkur.
Dengan perasaan campur aduk, aku merasa jika aku sudah melakukan yang terbaik bagi negaraku. Dengan cepat aku mendekati Ayah yang sudah meregang nyawanya terlebih dahulu dan menggendongnya di punggungku.
“Setidaknya perjuangan Ayah tidak sia-sia.”
Malam itu, aku pulang dengan selamat bersama dengan 12 pemuda Desa lainnya yang masih bisa bertahan. Mereka yang gugur, akan selalu kami kenang sebagai pahlawan. Pahlawan untuk kami. Warga Desa yang lemah.
Contoh 3
17 Agustus Telah Tiba!
Aku bernama Fajri, aku bersekolah di SD Nusa Bangsa. Kemarin bapak guru Budi telah mengumumkan bahwa siswa kelas 5 dan kelas 6 harus mengikuti upacara di lapangan Desa.
Hari ini pukul setengah lima pagi aku sudah bangun lalu mandi dan mempersiapkan segalanya. Ketika aku mulai menyetrika baju tak sengaja saku bajuku kemasukan setrika karena terlalu cepat hingga membuat saku baju robek.
Aku mulai bingung karena ini adalah seragamku satu satunya yang masih layak. Aku berpikir sejenak benda apa yang bisa menolongku sekarang. Agar saku baju ini bisa menempel kembali.
Aku tak ingin memberi tahu ibu. Aku tau ibu begitu sibuk dengan cetakan tempe-tempenya. Dan bahan membuat tempe sedang melambung tinggi kadang upah dari membuat tempe yang tak seberapa hanya cukup untuk kami makan.
Tak ada niatan aku untuk ingin mengganti seragam. Namun kini karena kecerobohanku saku bajunya terkoyak aku tidak tinggal diam karena ini sudah jam 6 pagi aku tak akan sempat untuk menjahitnya maka aku menggunakan double tip dari tempat pensilku.
Akhirnya benda itu dapat menolongku untuk sementara aku bisa ikut upacara bendera untuk memeriahkan hari kemerdekaan. Hanya ini yang bisa aku lakukan ikut memeriahkan meski arti sebuah merdeka dari keluargaku yang lepas dari kemiskinan belum juga usai.
Kami masih terjajah dengan harga-harga yang melambung tinggi, kami masih terjajah dengan sulitnya mencari pekerjaan kami masih terjajah dengan kata kemiskinan.
Contoh 4
Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!
17 Agustus tahun 45 itulah Hari Kemerdekaan kita.
Hari merdeka nusa dan bangsa.
Hari lahirnya bangsa Indonesia.
Semua anak-anak paduan suara bernyanyi dengan penuh sukacita dan penuh semangat. Kami kelas 4 di tugas untuk menjadi paduan suara di acara upacara kemerdekaan 17 Agustus yang ke 78 tahun.
Kami bangga menjadi paduan suara, suara gemuruh semangat kami mencerminkan diri kami yang cinta akan tanah air ini yaitu Indonesia. Setiap baitnya kami hayati.
“Makna kemerdekaan bagi kalian sebagai pelajar adalah mengisi kemerdekaan dengan hal yang bermanfaat untuk nusa dan bangsa menjadi siswa siswi yang berprestasi, berakhlak dan juga menjadi pelopor kemajuan bangsa.”
Itulah kata-kata bu Afni yang selalu kami ingat wali kelas 4 kami. Beliau selalu memberikan semangat untuk siswa siswinya. Sehingga di hari upacara ini paduan suara kami begitu mantap dan sangat bersemangat hingga menyukseskan upacara Hari kemerdekaan.
Contoh 5
Bendera Merah Putih yang Lusuh
Matahari sudah kembali terbit. Tapi entah mengapa, Pak Edward tak kunjung memasang bendera merah putih.
Aneh rasanya, padahal para tetangganya bahkan seluruh warga desa sudah menyilakan bendera merah putih untuk berkibar di depan halaman rumah. Sehari-hari Pak Edward memang sibuk. Sebagai seorang kurir, setiap saat ia harus pergi ke sana kemari demi mengantarkan paket dan kiriman yang sebelumnya dipesan oleh pembeli secara on-line.
Tapi, ya, jangankan Pak Edward. Semua orang juga sibuk, kok. Dan rasanya siapa pun yang tinggal di Bumi Pertiwi tercinta akan tergerak untuk memasang bendera kebangsaan RI untuk menyambut momentum kemerdekaan. Tidak terkecuali, Pak Edward pasti lebih mengerti.
Kebetulan hari itu adalah hari Minggu. Pak Edward diberi libur kerja dan sekarang ia sedang santai bermain dengan anak semata wayangnya yang baru berusia 8 tahun.
Ya, anak beliau adalah seorang perempuan yang sedang duduk di kelas 3 SD, namanya Riska.
“Ayah, Ayah. Mengapa kok di halaman rumah kita tidak dipajang bendera merah putih? Kan sebentar lagi ada perayaan HUT ke-78 RI?”
“Tidak apa-apa, Nak. Para tetangga juga jarang bertamu. Tambah lagi dengan Ayah, tiap hari Ayah bepergian ke sana kemari. Sudah puas rasanya melihat kibaran bendera.”
“Tapi Riska malu, Ayah! Masa teman-temanku bilang bahwa keluarga kita tidak mau mengenang jasa para pahlawan yang dulu berjuang melawan penjajah.”
“Lho, Riska kan setiap hari Senin melaksanakan upacara, kemudian juga mengheningkan cipta. Semua itu dilakukan untuk mengenang jasa para pahlawan, kan? Cukup. Ayah mau beli cemilan sebentar.”
Lagi-lagi Riska tidak puas dengan jawaban Pak Edward. Dirinya semakin bingung dan gelisah, entah apa alasan yang bakal ia katakan kepada guru maupun teman-temannya.
Lima belas menit berlalu, Pak Edward pun sudah tiba di rumah sembari membawa sebungkus gorengan. Ketika ingin menyapa Riska, tiba-tiba Sang Ayah terdiam di sudut pintu seraya meneteskan air mata.
Pak Edward tak kuasa mendengar kata demi kata yang dibacakan oleh Riska dengan suara lantang.
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat. Tertanda: Ir. Soekarno.”
Ayah sekaligus kurir ini menyadari bahwa dirinya sudah menyombongkan diri, merasa telah berbuat baik, menganggap profesi kurir sebagai seseorang yang paling berjasa di Bumi Indonesia. Padahal, perjuangan para pahlawan dahulu sungguh penuh dengan darah.
Tanpa berpikir panjang, Pak Edward pun segera mencari bendera merah putih yang selama ini tersimpan di lemari. Bendera tersebut ternyata masih baru dan warnanya sangat cerah. Tapi sayang, karena tidak disilakan berkibar penampilannya jadi lusuh. Bukan lusuh warna benderanya, tapi hati Pak Edward.
Lusuhnya bendera bisa dibersihkan dengan cara dicuci, tapi lusuhnya hati siapa yang tahu. Butuh kerelaan untuk memahami, menghargai, merenungi, dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan Indonesia. Salam Merdeka!
Contoh 6
Lomba Makan Kerupuk
Di salah satu sekolah tepatnya di SD Harapan Bangsa, untuk memeriahkan acara hari kemerdekaan ada lomba makan kerupuk. Semua peserta berbondong-bondong untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Lomba ini merupakan lomba yang cukup diminati bagi anak karena caranya cukup mudah dan bisa makan enak tentunya kerupuk adalah sebuah makanan ringan yang cukup terkenal di Indonesia.
Ketika semua persiapan telah di mulai ada 10 gantungan kerupuk di setiap jajarannya. Setiap anak mulai memilih di bagian mana mereka ingin berdiri. Namun, ada salah satu anak yang cukup menjadi perhatian.
Dia bernama Nadia, dia merupakan seorang anak SD kelas satu. Dia memakai kursi untuk mengikuti lomba makan kerupuk tersebut. Sehingga sang guru pun bertanya.
Guru: “Mengapa Nadia membawa kursi, untuk apa?”
Nadia: “Kata Umi kalau makan itu tidak boleh berdiri kita harus duduk, selain sunnah itu juga merupakan perilaku yang baik dan sopan.”
Guru pun mulai mengangguk-ngangguk mengucapkan terima kasih kepada Nadia telah mengingatkan kita semua. Hingga dari saat itu tidak lagi ada lomba kerupuk yang berdiri namun lomba makan kerupuknya sambil duduk.
Contoh 7
Para Pejuang Subuh di Tepi Jalan Kemerdekaan
Matahari masih termangu di sudut kelam. Hari ini hari Senin, waktu masih menunjukkan pukul 05.00 Subuh. Jalanan masih sepi, hanya ada langkah kaki jamaah yang belum lama keluar dari masjid.
Di pinggiran jalan raya, kisahnya sangat berbeda. Tiada matahari, tiada bulan, tapi entah mengapa di sana ada cahaya.
Bersama desiran angin fajar yang gigil, terdengar suara goresan sapu lidi di aspal. Dari dekat, tampak seorang Wanita tua sedang menepikan sampah dan dedaunan yang mengusik jalan.
Semakin mendekat, tampaknya hiasan senyum yang berbalut dengan keringat dingin. Wanita tua itu semakin bersemangat.
“Sebentar lagi Hari Kemerdekaan Indonesia tiba!” begitu kira-kira teriakan yang tergambar dari raut wajahnya.
Tujuh belas Agustus masih dua hari lagi. Sekarang suasananya pun sedang pandemi. Sesekali angin mengusik daun dan sampah-sampah mengotori. Padahal orang-orang di rumah. Sepi.
Tapi kepala orang kita tidak tahu. Ada-ada saja pasukan keras hati yang dengan entengnya membuang sampah.
Walau begitu, sungguh tak mengapa. Sampah dan kotornya tepi jalan menjadi ladang rezeki bagi wanita tua itu. Ia merasa beruntung dan merdeka walau hanya bekerja sebagai tukang sapu jalan.
Setidaknya, ia bisa selalu bangun pagi. Jauh sebelum pagi, tepatnya saat fajar akan membuka mata. Wanita tua itu merasa sehat, dan hatinya juga semakin cerah ketika melihat sudut-sudut jalan yang semakin bersih.
Baginya, tepi jalan yang bersih adalah bagian dari kemerdekaan. Wanita tua itu merasa iri dengan para pahlawan yang berjuang siang-malam pagi-petang bermodalkan bambu runcing hingga bertumpah darah.
Sedangkan dirinya? Hanya bermodalkan sapu yang setiap hari lidinya terus bertambah patah.
Tiada alasan baginya untuk mengeluh. Setidaknya, kucuran keringat saat menyapu di tepi jalan adalah salah satu perjuangan kemerdekaan yang bisa ia lakukan. Setidaknya untuk saat ini.
Contoh 8
Di Ujung Gerbang
Anak-anak SMA kelas XI sedang sibuk berlatih mengibarkan bendera merah putih untuk pelaksanaan upacara di hari kemerdekaan yang tinggal 3 hari lagi. Di ujung gerbang sana ada sesebapak yang memperhatikan salah seorang murid.
Sebut saja namanya Siti, dia adalah salah seorang siswa cerdas di kelasnya nilainya sangat bagus dan dia cukup aktif dalam bidang ekstrakulikuler di sekolah sehingga di setiap kegiatan dia selalu mengikuti.
Sama hal nya seperti sekarang dia menjadi petugas pembawa bendera untuk upacara kemerdekaan nanti. Namun ada satu hal yang mengganjal di hati Siti sekarang.
Sepatu usangnya ternyata sudah tidak bisa layak pakai lagi karena keseringan berlatih tambalan di sisi kiri tengahnya sudah mulai terkoyak lagi. Namun hal tersebut tak menyurutkan Siti untuk mengikuti upacara tersebut.
Karena baginya menjadi pengibar bendera adalah sebuah kebanggaan untuk bisa dipersembahkannya kepada orangtuanya. Selain banyak prestasinya yang lain namun Siti ingin di momen kemerdekaan tersebut dia bisa mempersembahkan sesuatu yang spesial untuk orang tuanya.
Di ujung gerbang sekolah seperti biasa seorang bapak memperhatikan murid-murid yang sedang berlatih. Dan besok merupakan hari kemerdekaan 17 agustus dan artinya hari ini adalah hari terakhir untuk latihan.
Ada yang lain dari bapak di ujung gerbang dia tidak hanya memperhatikan tapi memanggil salah seorang dari murid-murid yang sedang berlatih dia melambaikan tangan pada Siti.
Dan ternyata bapak tersebut menjinjing sepatu untuk anaknya tersebut. Sang bapak yang hanya penarik becak ini mengumpulkan uang dari beberapa minggu yang lalu saat kami mulai melihatnya di ujung gerbang.
Demikianlah paparan mengenai kumpulan contoh cerita pendek tentang Hari Kemerdekaan spesial untuk HUT ke-78 RI di 17 Agustus 2023.
Baca Juga: 5 Cerita Fantasi Pendek tentang Persahabatan yang Kaya Pesan Moral
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.