Makassar, Sonora.ID - Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengungkapkan kekerasan baik berupa kekerasan seksual, perundungan, maupun intoleransi merupakan pekerjaan rumah besar bagi bangsa Indonesia. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, ada 49.729 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke lembaga layanan dan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2012-2021.
Secara spesifik, dalam lingkup dunia pendidikan, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan paling banyak terjadi di perguruan tinggi yaitu menempati urutan pertama sebesar 35 persen. Bahkan yang mengejutkan, setelah 21 tahun, laporan terkait kasus pelecehan lebih banyak dilaporkan daripada perkosaan.
"Ini membuktikan bahwa orang sudah lebih mengetahui tentang jenis-jenis kekerasan seksual dan berani untuk melapor. Namun perlu kita pahami bersama bahwa ukuran keberhasilan penanganan kekerasan seksual bukan terletak pada menurunnya laporan kasus, tetapi terletak pada meningkatnya penanganan kasus dengan seadil-adilnya,” tegas perempuan yang dikenal dengan sebutan Prof. Alim.
Terkait kondisi tersebut, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim meminta Satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS) menjadi garda depan perwujudan kampus merdeka dari kekerasan di lingkungan perguruan tinggi.
“Satuan Tugas PPKS di perguruan tinggi sebagai garda depan perwujudan kampus yang merdeka dari kekerasan. Saya benar-benar senang sekali saat mendengar bahwa semua perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia sudah membentuk satgas yang sesuai dengan aturan Permen PPKS,” jelas Menteri Nadiem saat memberikan sambutan pada kegiatan Peningkatan Kapasitas Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Region IV di Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar, Selasa (22/8).
Baca Juga: Contoh Inklusi dan Pengertiannya dalam Dunia Pendidikan
Nadiem menjelaskan pembentukan Satgas PPKS merupakan mandat dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Ia mengapresiasi dan menyebut bahwa Satgas PPKS merupakan orang-orang terpilih. Hal itu lantaran tanggung jawab Satgas PPKS sangat besar mencakup pencegahan dan penanganan yang akuntabel secara hukum dan berpihak pada korban. Sebab, terciptanya ekosistem perkuliahan yang kondusif dapat meningkatkan antusiasme mahasiswa belajar di perguruan tinggi. Meskipun, kata Nadiem, tak dimungkiri bahwa faktanya sampai saat ini kasus kekerasan seksual masih bersifat seperti gunung es.
“Kita sudah melihat sendiri bagaimana kehadiran Satgas PPKS telah mendorong semakin banyak korban yang melaporkan kasusnya,” ujar Mendikbudristek.
Untuk mendukung Satgas PPKS agar dapat lebih mengoptimalkan peran dan tanggung jawabnya, Kemendikbudristek dalam hal ini Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) mengadakan kegiatan peningkatan kapasitas Satgas PPKS. Tujuannya adalah untuk menguatkan pengetahuan dan pelaksanaan tugas Satgas PPKS terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
“Melalui kegiatan ini, semua pihak diharapkan dapat semakin memperdalam pengetahuan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual melalui materi yang disampaikan oleh para pakar. Tidak kalah penting, saya berharap Ibu dan Bapak serta Adik- adik semua juga bisa saling berbagi dan belajar tentang praktik baik di kampus masing-masing sehingga terbentuk satu komunitas belajar yang saling menguatkan,” ucap Nadiem.
Kepala Puspeka Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami, menjelaskan bahwa kegiatan peningkatan kapasitas Satgas PPKS di PTN telah dilaksanakan di 4 (empat) region selama bulan Juli sampai dengan Agustus 2023. Region I meliputi wilayah Sumatera, Regional II Jawa bagian barat dan Kalimantan, Regional III Jawa bagian tengah, Jawa bagian timur, dan Bali, serta Regional IV Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh perwakilan dari unsur dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa dari seluruh PTN di Indonesia serta dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI). Jumlahnya yaitu sebanyak 125 orang satgas dari unsur dosen, 125 orang satgas dari unsur tenaga kependidikan, 125 orang satgas dari unsur mahasiswa, serta 32 orang dengan masing-masing 2 orang perwakilan dari LLDIKTI Wilayah I sampai dengan LLDIKTI Wilayah XVI.
"Sebagaimana kita tahu, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual merupakan tanggung jawab kita bersama. Mari bergotong-royong, bersama membangun komitmen untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas darikekerasan. Usai kegiatan ini, kami tentu berharap Satgas PPKS bukan hanya memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam terkait oencegahan dan penanganan kekerasan seksual tetapi juga dapat memetakan kebutuhan dan kerja sama pihak-pihak terkait,” tandas Rusprita.
Ditemui saat kegiatan yang sama, Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan, Siti Mazuma, menekankan bahwa keberadaan Satgas PPKS sangat dibutuhkan, terutama untuk merespons situasi yang selama ini sering dialami korban terkait dengan kebutuhan pendampingan bagi korban.
“Saya mengapresiasi sekali apa yang telah dilakukan oleh Puspeka dengan mengadakan kegiatan peningkatan kapasitas Satgas PPKS. Memang inilah yang dibutuhkan oleh satgas, bagaimana mereka bisa mengasah keterampilan-keterampilan termasuk pengetahuan dasar tentang langkah awal dalam penerimaan kasus atau pengaduan, bersikap empati dan percaya pada korban, memberikan pilihan-pilihan alternatif mengenai langkah apa yang harus diambil korban, termasuk pengetahuan tentang lembaga rujukan yang memiliki sumber daya yang dibutuhkan korban, dan juga respons darurat yang dibutuhkan oleh korban,” ungkap Zuma.
Seraya mengamini, Satgas PPKS Universitas Pendidikan Ganesha, Kadek Jayanta, mengaku selama mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas Satgas PPKS telah banyak mendapatkan pengetahuan dan pemahaman lebih mendalam tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
“Dengan adanya peningkatan kapasitas ini, kita mendapatkan berbagai pengetahuan, pemahaman, dan penyamaan persepsi mulai dari mengenal kekerasan seksual hingga metode merujuk seorang korban hingga akhirnya bisa menyelesaikan dan menuntaskan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi,” pungkasnya.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News