Ketika masih kecil aku tidak mengerti, kenapa ayah tidak bisa pulang setiap hari seperti ayah teman-temanku.
Namun lambat laun, aku kini paham jika pekerjaan seorang pelaut memaksa ayah untuk tidak pulang setiap hari.
Setiap momen kedatangan ayah pulang, aku sangat senang dan menyambutnya dengan sukacita.
Aku bisa dibawa ayah bermain mengelilingi kompleks perumahan subsidi atau pergi ke pusat perbelanjaan menghabiskan waktu.
Di sisi lain, waktu menjelang ayah pergi untuk melaut menjadi momen paling berat.
Sebab di waktu itulah ayah pergi bekerja berbulan-bulan, terkadang tak bisa memberi kabar.
Terkadang aku marah dan mengunci kamar setiap kali ayah hendak pergi lagi bekerja.
Ayah dan ibu pun mencoba membujuk aku untuk keluar supaya bisa berpamitan.
Egoku masih tinggi sehingga aku tak mau keluar, justru menangis karena tak mau ayah pergi.
Tetapi kebiasaan buruk itu lambat laun sudah mulai hilang. Aku sudah agak dewasa dan mencoba tegar untuk melihat ayah pergi melaut kembali.
“Sabar ya nak, ayah mungkin tak lama lagi bekerja di kapal. Ayah tak mau meninggalkan keluarga lama-lama,” ungkap Ayah.
Ucapan di atas beberapa bulan terakhir sering ia lontarkan ketika hendak pergi bekerja. Tampaknya ayah pun mulai bosan dan tak tenang meninggalkan keluarga lama-lama. Selain karena aku yang mulai tumbuh dewasa, ibu pun butuh perhatian lebih.
Aku pun hanya mengangguk seraya berharap keinginan ayah bisa terkabul secepatnya.
Sore itu, aku berada di teras untuk melepas ayah pergi.
Bersama ibu, aku melihat ayah naik mobil untuk bekerja di laut demi anak istrinya.
Kembali aku berharap, semoga ayah bisa pulang secepatnya dan benar-benar bisa terus dekat dengan keluarganya.
3. Keluarga adalah Segalanya
Aku bernama Haikal aku memiliki keluarga yang cukup lengkap. Ada ayah, ibu dan kakaku. Kami tinggal di sebuah kota di Bandung. Dan ayahku bekerja sebagai seorang pelaut.
Ayah pergi bekerja dan pulang tiga bulan sekali bukan hal mdah bagi kami selalu terpisah jarak dan waktu. Ketika aku kecil aku selalu menangis saat mengantar kepergian ayah untuk berlayar.
Aku selalu menghalangi jalannya. Dan itu selalu membuat matanya berkaca-kaca. “Ayah pergi demi kalian anak-anaku, demi ibu dan demi masa depan kita”.