Namun kata ayahku, aku harus bisa menaikinya dengan lancar tidak hanya sebatas itu saja.
Pada hari ketiga ini kami mulai merasa lelah karena kami berpikir bahwa mengendarai sepeda motor dengan lancar itu benar-benar sulit.
Di hari selanjutnya, kami latihan sepeda motor bersama di jalanan dekat sawah samping rumahku.
Aku sangat bersemangat karena kala itu aku sudah mulai lancar mengendarai motor.
Meski begitu, Gita terus menemaniku di hari-hari selanjutnya. Saat aku sudah lancar, aku pun berteriak kegirangan karena aku yakin bahwa aku bisa pergi ke kampus bersama Gita membawa motor.
“Yeay Gita lihat! Aku sudah lancar bawa motor!” Namun saat aku berteriak ternyata aku kehilangan kendali dan motor ayah Gita masuk ke sawah bersamaku juga, “Bruuuukkkk!”. Gita mentertawaiku karena tubuhku dipenuhi dengan lumpur. Aku pun menarik Gita untuk ikut tercebur ke sawah.
Aku tidak menyangka bahwa di saat aku sudah cukup lancar naik sepeda justru aku jatuh masuk ke sawah.
Ayahku menolong kami dan membawa kami ke rumah, kemudian ayah berkata bahwa aku tidak usah belajar sepeda lagi karena aku jatuh ke sawah.
Ibuku memarahiku karena aku tidak berhati-hati saat latihan, dan melarangku juga untuk latihan. Gita meyakinkan ayah dan ibuku bahwa aku sudah cukup lancar.
Keesokan harinya, Gita tetap menemaniku latihan dan orang tuaku tetap melarangku.
Namun Gita memohon supaya diperbolehkan. Saat itu aku langsung latihan ditemani Gita dan ayahku melihat aku sudah cukup lancar.
Aku melihat ayah dan ibuku memperhatikanku dari teras rumah sambil berkata, “Wah ternyata anak Ayah sudah lancar sepeda toh.
Minggu depan sepertinya bisa nyoba bikin SIM biar bisa ke kampus naik motor bareng Gita.” Mendengar kalimat itu kami langsung senang sekali.
Aku dan Gita, sahabatku, ternyata memiliki pengalaman yang sangat seru dan tak terlupakan.
Padahal ayahku dan ayah Gita memberiku tantangan selama dua pekan, tetapi aku bisa cukup lancar mengendarai motor tidak lebih dari dua pekan.
Pengalamanku bersama Gita saat belajar motor sangatlah terkenang, apalagi sampai masuk sawah. Tentu tak terlupakan.
Contoh 2
Saya Adam Nur Alam, biasa dipanggil Adam. Saya lahir dan besar di kota pelajar, Yogyakarta.
Sebagai anak bungsu dari enam bersaudara yang lahir pada 2 April 1991, saya “dipaksa” untuk berjuang agar bisa sekolah dan menyelesaikan pendidikan hingga lulus sekolah menengah.
Pada1997 adalah tahun yang tidak akan pernah terlupakan. Kakak saya yang tertua berlari-lari mengajak saya ke satu di antara TK di desa yang lokasinya cukup jauh.
Saya ingat betul bahwa hari itu adalah batas akhir pendaftaran masuk TK.
Sambil mengusap keringat, kakak menyodorkan amplop warna coklat sambil sesekali memohon keringanan pada bapak tua berseragam cokelat yang saya ketahui sebagai kepala sekolah.
Saya yang tidak tahu apa-apa hanya pasrah. Setelah proses negosiasi selesai, kakak mendekati saya sambil tersenyum dan mengatakan bahwa saya sudah bisa masuk TK.
Rasa bahagia tidak terkira memenuhi rongga dada. Saya tidak menyangka bahwa anak miskin seperti saya yang sehari-hari makan nasi serta garam bisa mengenyam bangku sekolah.
Kehidupan studi saya berjalan lancar. Setiap hal yang berkaitan dengan kebutuhan sekolah pasti dipenuhi oleh kakak sekalipun harus berutang.
Saya memanfaatkan fasilitas yang diberikan kakak untuk belajar sebaik mungkin.
Saat SD, saya memberanikan diri untuk mengikuti perlombaan di bidang matematika, mata pelajaran favorit saya. Siang malam saya berlatih agar bisa menjadi juara dan mendapatkan uang.
Para guru pun mulai melirik potensi yang saya miliki. Mereka semakin sering mengikutkan saya pada ajang perlombaan di tingkat kabupaten, bahkan nasional. Hasilnya pun tidak pernah mengecewakan.
Mungkin itulah yang membuat saya dapat diterima di SMP tanpa tes dengan mudah. Rasa bangga diterima di salah satu SMP favorit kabupaten membuat saya semakin giat belajar.
Selama menempuh studi di sana pun saya selalu mendapatkan peringkat pertama. Setelah menyelesaikan studi di SMP, saya meneruskan pendidikan di SMA dengan beasiswa dari pemerintah kabupaten.