Penulis : Wahyudi Samadi
Sonora.ID - Indonesia, Thailand dan Malaysia semakin mengurangi penggunaan mata uang Dolar AS dalam transaksi lintas negara. Ketiga negara di Asia Tenggara ini menyepakati penggunaan mata uang lokal (Local Currency Transactions/LCT) dalam berdagang dan berinvestasi langsung.
Kesepakatan itu tertuang dalam Nota Kesepahaman (MoU) antara Bank Indonesia, Bank Negara Malaysia, dan Bank of Thailand di sela-sela Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM) ke-10 di Jakarta (25/08).
Terkait hal ini, Titis Nurdiana, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kontan, dalam wawancara dengan Radio Sonora Kamis (07/09), mengatakan LCT akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia.
“Hal ini positif ya. Mata uang lokal akan lebih stabil dan tidak tergantung fluktuasi dolar AS yang selama ini digunakan sebagai mata uang global”, katanya.
Jadi, bila ada ada pelaku ekonomi dari Indonesia dan Thailand melakukan transaksi dagang maka pelaku ekonomi dari Indonesia dapat membayar dengan Rupiah. Sebaliknya pelaku ekonomi Thailand dapat menggunakan mata uang Bath. Jauh sebelum kesepakatan antar ketiganya diresmikan, praktik penggunaan mata uang antar ketiganya sudah dilaksanakan sejak tahun 2017. MoU ini menjadi tonggak utama dalam memperkuat mata uang lokal serta memberikan kontribusi positif bagi stabilitas pasar keuangan.
Menimbang dampak positif LCT tersebut, Indonesia mengajak agar semakin banyak negara anggota ASEAN untuk menerapkan LCT dengan memanfaatkan momentum keketuannya di ASEAN tahun ini. Hal ini juga merespons trend global di mana saat ini semakin banyak negara-negara di dunia yang mulai mengurangi penggunaan dolar AS.
Uni Eropa misalnya yang sudah menggunakan mata uang Euro sejak tahun 1999. China dan beberapa negara mitranya juga sudah menerapkan penggunaan uang lokal. Terbaru, negara-negara BRICS yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan juga sudah mulai menerapkan LCT. Apakah ini merupakan fenomena Dedolarisasi?
Titis menjelaskan, meskipun ada upaya dari banyak negara untuk mengurangi penggunaan dolar AS tapi hegemoni dolar AS masih cukup sulit digantikan. “Saat ini, dolar AS masih digunakan 59% dalam transaksi global”, jelasnya.