“Anak-anak harus dilindungi dari konten dewasa yang tidak sepatutnya dilihat sesuai usia mereka” Tegasnya.
Konten dewasa tidak hanya terbatas pada konten yang bersifat pornografi melainkan juga konten yang menampilkan kekerasan, menakutkan dan mengerikan (horror) atau konten percakapan yang tidak mengandung hal-hal berbau SARA.
“Pembuat dan penyedia konten sudah selayaknya memberikan peringatan atau informasi sasaran usia yang boleh atau tidak boleh melihat konten yang mereka tayangkan” ungkap Psikolog yang juga founder dari Personal Growth ini.
Ketika kondisi kejiwaan anak-anak belum matang, maka konten dewasa dapat menimbulkan trauma yang akan berdampak buruk bagi tumbuh kembangnya dan akan membekas hingga tua. Dampak lainnya adalah dapat menimbulkan kesalahan persepsi dalam benak anak.
Baca Juga: Seksolog: Kecanduan Pornografi Bisa Timbulkan Salah Persepsi Soal Seks
Mereka akan membandingkan apa yang dilihat dalam tayangan ‘dewasa’ dengan realitas hidup yang sebenarnya.
Adanya gap persepsi itu akan membuat mereka bingung dan jika tidak ada bimbungan atau arahan yang baik, kebingungan itu dapat menyebabkan mereka mempraktikkan apa yang mereka lihat dalam konten.
“Misalnya, bisa saja anak akan menyentuh, meraba atau memegang bagian tubuh sensitif teman sekelasnya seperti yang mereka lihat di tayangan”, ujarnya.
Contoh lain, Kerap terjadi perilaku kekerasan yang dilakukan seorang anak akibat terlalu sering melihat video-video adegan pemukulan dan sebagainya. Pengaruh tayangan berisi kekerasan verbal juga acapkali ditiru anak-anak dalam kehidupan sehari-hari mereka.
“Perilaku ini tentu akan menimbulkan banyak masalah baru bagi anak jika tidak dicarikan solusinya”, tambahnya.