Sonora.ID - Artikel ilmiah populer adalah karya tulis yang mengandung ilmu pengetahuan dan ditulis dengan bahasa Indonesia yang ringan serta mudah dipahami.
Artikel ilmiah populer ini pada umumnya diterbitkan di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik.
Lantaran mengandung informasi yang bersifat ilmiah dan mengandung ilmu pengetahuan yang bisa dibuktikan kebenarannya, maka artikel ilmiah populer ini bersifat objektif.
Struktur artikel ilmiah populer biasanya terdiri atas empat bagian, yakni:
Untuk memahaminya dengan lebih baik berikut ini kami sajikan kumpulan contoh artikel ilmiah populer tentang bullying atau perundungan, dikutip dari berbagai sumber.
Baca Juga: Apa Saja Perbedaan Artikel Ilmiah dan Artikel Ilmiah Populer Itu?
Artikel Ilmiah Populer tentang Bullying: Singkat dan Sesuai Strukturnya
Contoh 1
Bullying dan Bunuh Diri di Masa Remaja
(Anisa Uswatun Khasanah)
Bullying merupakan kata dari bahasa inggris yang memiliki arti dalam bahasa indonesia yakni, penindasan/risak.
Secara umum, Bullying merupakan suatu tindak kekerasan atau penindasan kepada seseorang secara disengaja oleh individu maupun kelompok dengan tujuan untuk membuat korban tersakiti dan takut serta dilakukan secara terus menerus.
Terdapat beberapa wujud bullying yaitu ancaman, kekerasan fisik, penolakan, julukan, menggoda, menyebarkan rumor, dan pengambilan barang-barang pribadi (Weir, 2001).
Bunuh diri atau dalam Bahasa Inggris suicide berasal dari istilah Latin sui (diri sendiri) dan caedere (membunuh).
Bunuh diri adalah tindakan memusnahkan diri secara sadar, yang dipahami sebagai multidimensi perasaan tidak nyaman sehingga individu yang mengalaminya beranggapan bahwa bunuh diri adalah jalan keluar terbaik (Shneidman, 1985, hal. 203).
Sulit untuk mencegah bunuh diri karena aksi nekat tersebut tidak memiliki penyebab yang reliabel.
Kita tidak boleh serta-merta memprediksi 'seseorang akan bunuh diri' melainkan berkata 'seseorang berisiko melakukan bunuh diri'. Salah satu hal yang meningkatkan risiko bunuh diri adalah bullying.
Masa remaja merupakan masa dimana seseorang mulai merasakan ketertarikan kepada lawan jenis, solidaritas dalam persahabatan, keinginan untuk mencoba dan tertantang untuk melakukan sesuatu yang baru, serta keinginan untuk menjelajahi dunia baru dalam hidup untuk menemukan jati diri.
Remaja cenderung memiliki karakter yang labil serta sensitif yang dapat mendorong remaja tersebut berbuat sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu terkait risiko yang mungkin terjadi di kemudian hari.
Perilaku tersebut terkadang dapat membuat terbentuknya kelompok yang superior (kelompok atas) dan inferior (kelompok bawah).
Kelompok superior menunjukkan jati diri mereka dengan cara yang tidak baik, seperti dengan melakukan kekerasan baik secara fisik ataupun lisan. Kekerasan yang sering terjadi pada masa remaja yaitu, perilaku bullying. (Kharis, 2019).
Bullying adalah fenomena yang kerap terjadi pada remaja. Dampak dari bullying ini tidak main-main, salah satunya adalah bunuh diri.
Siswa SD Bayuwangi, Jawa timur ditemukan tewas dengan gantung diri dirumahnya. Polisi meneliti bahwa siswa tersebut bunuh diri, korban mengalami depresi karena perundungan atau bullying.
Korban kerap dirundung teman sebayanya lantaran tidak punya ayah, korban merupakan anak yatim (CNN Indonesia, 2023).
Tidak hanya di Indonesia, kasus bunuh diri yang dilakukan remaja yang mengalami bullying juga terjadi di berbagai belahan dunia (Coloroso, 2008, Hal. xxi-xxv).
Bullying telah mematahkan semangat hidup para remaja dengan keputusannya. Perilaku bullying pada remaja mampu memicu keinginan bunuh diri bagi para individu-individu yang terlibat didalamnya karena dapat berdampak buruk terhadap kesehatan mental korban.
Meskipun demikian, terdapat pula pandangan kontra dari McBride (2014) yang menyatakan bahwa bullying tidak semata-mata menyebabkan bunuh diri karena yang menyebabkan bunuh diri hanyalah penyakit mental.
Memang benar apabila dikatakan hubungan bullying terhadap bunuh diri tidak semudah mengatakan jika X maka Y.
Akan tetapi, yang perlu ditekankan adalah setiap pelaku, korban, maupun pengamat bullying memiliki risiko bunuh diri.
Adanya risiko tersebut tidak hadir secara instan, melainkan hadir setelah merasakan serangkaian dampak negatif dari bullying itu sendiri.
Dampak negatif dari bullying terhadap kesehatan mental yang pertama adalah bahwa bullying berpotensi menghasilkan gangguan tidur (Fujii dkk., 2010).
Fenomena ini berlaku bagi korban, pelaku, maupun pengamat bullying. Gangguan tidur tersebut meliputi mimpi buruk, insomnia, dan gejala pernapasan saat tidur yang berkaitan dengan keinginan bunuh diri (Bernert, Cukrowicz, Joiner, Krakow, & Schmidt, 2005). Liu (2004) mengemukakan penelitian yang mengindikasikan bahwa mimpi buruk.
Efek negatif dalam perkembangan karakter, baik bagi korban maupun pelaku. Akibat bullying pada korban yaitu timbulnya perasaan tertekan karena pelaku menguasai korban, korban mengalami kesakitan fisik dan psikologis, kepercayaan diri merosot, trauma, serba salah dan takut sekolah, mengasingkan diri, cenderung ingin bunuh diri.
Selain itu, apabila dibiarkan, pelaku bullying akan belajar bahwa tidak ada resiko apapun bagi mereka melakukan kekerasan ataupun mengancam anak lain.
Ketika dewasa, pelaku memiliki potensi untuk menjadi pelaku criminal dan akan bermasalah dalam fungsi sosialnya.(Mudjijanti, 2011).
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi masalah bullying oleh beberapa pihak di sekitar korban, salah satunya dari pihak orang tua ataupun sekolah.
Guru dan orangtua memiliki peran menjadi social support, yaitu sebagai penyelesai masalah sosial melalui dukungan nyata.
Guru dan orangtua dapat memberikan dukungan yang bersifat emosi dengan memberikan perhatian lebih kepada mereka yang rentan mengalami bullying melalui ekspresi yang bersifat psikologis dan menciptakan atmosfir yang bersahabat.(Mudjijanti, 2011).
Bullying adalah perilaku yang disengaja dan dilakukan berulang kali dengan menggunakan fisik maupun psikologis kepada seseorang yang dapat merugikan orang tersebut.
Bullying, terutama di sekolah telah menjadi masalah global saat ini. Karena sebagian besar anak- anak sangat rentan menjadi korban bullying.
Perilaku bullying pada anak disebabkan oleh beberapa faktor seperti keluarga, sekolah, kelompok sebaya, lingkungan sosial, tayangan televisi dan media cetak.
Bullying dapat memberikan efek yang negatif, baik kepada korban maupun pelaku itu sendiri dalam perkembangan karakter mereka.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi masalah bullying oleh beberapa pihak, salah satunya sekolah dan lingkungan sekitar, serta dari diri korban sendiri.
Contoh 2
Bullying di Usia Sekolah
(Janniba Arifah)
Usia sekolah merupakan masa yang sangat menentukan kualitas seorang dewasa dengan harapan sehat secara fisik, mental, sosial, dan emosi.
Kasus yang sering terjadi di tingkat sekolah yang dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang adalah bullying.
Dimana bullying ini merupakan suatu tindakan agresif yang dilakukan berulang kali oleh seseorang yang memiliki kekuatan lebih terhadap orang lemah, baik secara fisik maupun psikologis.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sejiwa yang mengartikan bullying sebagai tindakan yang menggunakan kekuasaan dalam menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik secara verbal, fisik, maupun psikologis sehingga korban menjadi tertekan, trauma, dan tidak berdaya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nauli pada tahun 2016 terungkap bahwa dari 176 remaja usia 15-17 tahun di beberapa sekolah di Pekanbaru didapatkan sebanyak 50,6% memiliki perilaku bullying yang tinggi.
Penelitian di Indonesia terkait bullying dilakukan oleh Juwita tahun 2012 dengan hasil yang didapatkan bahwa Yogyakarta memiliki angka tertinggi dalam kasus bullying dibandingkan di Jakarta dan Surabaya, tercatat 70,65% kasus bullying terjadi di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) di Yogyakarta.
Kasus bullying tidak hanya terjadi pada jenjang SMP dan SMA saja, tetapi sekolah dasar juga termasuk dalam hal ini.
Dimana pelaku sering mengejek teman sekelasnya hingga korban berkeinginan untuk berhenti sekolah, menjauhi hubungan sosial, sering melamun (pemurung), bahkan bunuh diri.
Hal ini dapat dibuktikan dari penelitian yang dilakukan Nauli pada 2017 yang menyatakan bahwa pada tanggal 15 Juli 2005 terdapat siswa SD berusia 13 tahun melakukan tindakan bunuh diri karena merasa malu dan frustasi akibat sering diejek.
Data lainnya berdasarkan survey yang dilakukan oleh Borba didapatkan bahwa anak usia 9 sampai 13 tahun mengakui melakukan bullying.
Survey yang dilakukan di salah satu sekolah dasar Kota Pekanbaru menunjukkan 6 dari 10 orang siswa pernah melakukan tindakan bullying kepada temannya secara verbal maupun fisik. Hal tersebut menunjukkan tingginya kasus bullying di usia sekolah.
Faktor terjadinya bullying ini diantaranya, yaitu perbedaan kelas (senioritas), ekonomi, agama, gender, keluarga tidak rukun, situasi sekolah tidak harmonis, perbedaan karakter individu ataupun kelompok, adanya dendam/iri hati, adanya semangat ingin menguasai korban dengan kekuatan fisik, dan meningkatkan popularitas pelaku dalam ruang lingkup teman sebayanya.
Bentuk bullying yang terjadi di sekolah dapat berupa: pertama, verbal. Dimana kekerasan yang dilakukan berupa ejekan, makian, cacian, celaan, fitnah.
Kedua, fisik. Dimana kekerasan yang dilakukan berhubungan dengan tubuh seseorang yang dapat berupa pukulan, meludahi, tamparan, tendangan.
Ketiga, relasional. Dimana kekerasan yang terjadi karena munculnya kelompok tertentu yang berseberangan dengan kelompok ataupun individu lain hingga adanya pengucilan.
Dengan dampak yang cukup memprihatinkan terhadap korban bullying, maka diperlukan pencegahan secepatnya.
Berdasarkan pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2014, "Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain."
Jika ada seseorang yang membully, kita harus tetap percaya diri dalam mengadapi tindakan tersebut dengan berani, menyimpan bukti bullying agar dapat dilaporkan, jangan pernah takut dalam berbicara ataupun melaporkan walaupun diancam oleh pelaku, tetap berbaur dengan teman-teman yang membuat kita percaya diri dan selalu berpikir positif.
Dilansir dari detik.com, terdapat beberapa cara dalam mencegah terjadinya bullying yang dapat dilakukan di sekolah.
Pertama, pihak sekolah dapat memberikan edukasi mengenai bullying dengan membuat poster bullying yang dipajang di lingkungan sekolah.
Kedua, seluruh pihak sekolah melatih dirinya agar memiliki rasa simpati dan empati kepada orang lain yang dapat mendukung korban bullying agar dapat melalui masa-masa sulitnya dan kembali bangkit serta keluar dari tindakan bullying yang dialaminya.
Ketiga, pihak sekolah dapat membuat aturan dengan sanksi yang tegas mengenai tindakan bullying di lingkungan sekolah seperti menetapkan prosedur penanganan yang tepat, tegas, dan adil dalam menindaklanjuti tindakan tersebut agar pelaku bullying berpikir sebelum melakukannya.
Keempat, adanya jalur komunikasi terbuka dalam pelaporan bullying agar tindakan pelaku dapat terungkap. Sebagaimana yang sering terjadi bahwa korban tidak berani melaporkan atas apa yang telah dialaminya.
Kelima, pihak sekolah melakukan gerakan anti bullying dengan menyebarkan pesan yang mengandung norma menentang bullying. Kegiatan tersebut dapat berupa gerakan Antibullying Day, mengadakan pentas seni, penandatanganan deklarasi anti bullying oleh seluruh pihak sekolah, dan ide kreatif lainnya.
Pencegahan tindakan bullying ini akan berhasil apabila seluruh warga sekolah ikut mendukung semua kegiatan yang dapat menghentikan tindakan tersebut.
Tidak hanya warga sekolah, tetapi lingkungan di luar sekolah pun juga berperan penting dalam membentuk nilai-nilai positif dalam bermasyarakat.
Contoh 3
Pentingnya Kecerdasan Emosional bagi Remaja
(Erythrina Sekar Rani-CLSD Psikologi UGM)
Masa remaja merupakan salah satu tahapan perkembangan yang sangat penting. Menurut Erikson, pada masa remaja seseorang menghadapi krisis mencari identitas diri sehingga di akhir masa ini seseorang diharapkan dapat menemukan identitas dirinya (Feist & Feist, 2010).
Di sisi lain, pada masa remaja, seseorang cenderung memiliki egosentrisme yang tinggi. Karakteristik egosentrisme inilah yang membuat remaja merasa tertantang untuk melakukan perilaku yang secara tidak sadar dapat membahayakan diri mereka sendiri (Albert, Elkind, & Ginsberg, 2007).
Perilaku membahayakan diri dan orang lain yang banyak dilakukan oleh remaja antara lain aksi tawuran, bullying, minum-minuman beralkohol, menggunakan obat-obatan terlarang, atau seks bebas.
Egosentrisme adalah ketidakmampuan membedakan sudut pandang diri sendiri dan sudut pandang orang lain (Santrock, 2011).
Menurut David Elkin (dalam Santrock, 2011), ada dua kunci utama dalam egosentrisme remaja yaitu imaginary audience dan personal fabel.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa imaginary audience adalah ciri khas remaja yang merasa menjadi pusat perhatian, merasa orang lain tertarik pada sesuatu (sama seperti dirinya), dan biasanya muncul perilaku mencari perhatian.
Contohnya, saat berkendara atau berjalan, remaja merasa orang-orang di sekitar memperhatikan mereka.
Tidak jarang ada pula remaja yang berperilaku tertentu bertujuan untuk menarik perhatian orang di sekitar. Sementara, personal fabel adalah ciri khas remaja merasa dirinya unik, merasa tidak ada yang memahami, dan merasa dirinya kebal atau tidak terkalahkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Azhari, Dahlan, dan Mustofa (2019) pada 395 remaja berusia 13-18 tahun yang bersekolah di SMP dan SMA di Kota Bandung menunjukkan bahwa imaginary audience dan personal fabel dapat mempengaruhi perilaku agresi pada remaja.
Tingginya agresi pada remaja ternyata terkait erat dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siu (2009) di Cina, tingginya perilaku depresi, cemas, stres, agresi, dan kenakalan remaja berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki.
Hasil serupa juga diperoleh oleh Moskat dan Sorenson (2012) dalam penelitiannya pada remaja usia 12-17 tahun di Washington, tingginya agresivitas berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional pada remaja.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kawamoto, Kubota, Sakakibara, Muto, Tonegawa, Komatsu, dan Endo (2021) pada anak dan remaja di Jepang, ditemukan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional pada anak/remaja maka permasalahan mereka dengan teman sebaya dan kesulitan lain yang dihadapi cenderung semakin rendah, serta perilaku prososial (tolong-menolong) cenderung tinggi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Masithah, Soedirham, dan Triyoga (2019) pada mahasiswa berusia 18-24 tahun di Indonesia juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional mempengaruhi kontrol perilaku seseorang, pada penelitian ini mempengaruhi pada intensi untuk berhenti merokok.
Mengacu pada beberapa hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa diperlukan kecerdasan emosional yang tinggi bagi remaja untuk membantu mereka mengelola emosi dan mengurangi perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengelola diri, seperti kemampuan: memotivasi diri, bertahan terhadap stres, mengelola emosi, bersosialisasi, dan hubungannya dengan Tuhan (Goleman, 2009).
Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan cenderung memiliki kemampuan emosional yang lebih bisa membantu menghadapi permasalahan sehari-hari dan cenderung tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Cerdas secara akademis saja ternyata tidak cukup untuk seseorang bisa mengontrol diri dan bersosialisasi dengan lingkungan, dibutuhkan kecerdasan emosional untuk menyeimbangkannya.
Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama faktor eksternal, yaitu:
(1) Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama kali bagi anak dalam mempelajari kecerdasan emosional, salah satunya melalui interaksi dengan orangtua.
Orangtua dapat membantu anak mengenali emosi, memberi label pada emosi, menghargai emosi yang dirasakan, dan menempatkan emosi pada situasi sosial yang relevan (Mayer & Salovey, 1997).
Anak memiliki kecenderungan meniru perilaku orang dewasa, termasuk saat mengekspresikan emosi.
Oleh karena itu, perlu bagi kita sebagai anggota keluarga untuk sama-sama saling mengenali dan menghargai emosi satu sama lain, serta mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat (tidak merugikan diri dan anggota keluarga lain) agar hubungan dalam keluarga bisa terjalin dengan nyaman dan terbuka.
(2) Lingkungan (teman sebaya, pendidikan, dan budaya)
Baik kita sadari maupun tidak, lingkungan turut berperan dalam kecerdasan emosional kita dan hal ini dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan perkembangan sosioemosional anak sehingga dapat memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Contohnya dapat kita temui pada saat kita berinteraksi dengan teman, guru, ataupun tetangga sebelah rumah kita.
Ada proses pembelajaran baik dari segi budaya ataupun kebiasaan yang kita ambil dari interaksi tersebut.
Kecerdasan emosional bukan sesuatu yang diturunkan, melainkan dapat dilatih atau dipelajari dari lingkungan (Saphiro, 2003).
Berikut, tips-tips yang bisa dilakukan remaja untuk meningkatkan kecerdasan emosional:
Demikianlah paparan mengenai kumpulan contoh artikel ilmiah populer tentang bullying yang singkat, pendek, menarik, dan sesuai struktur. Semoga bermanfaat!
Baca Juga: 10 Contoh Artikel Ilmiah Populer Singkat, Beragam Tema, Sesuai Struktur
Baca artikel dan berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.