Sonora.id - Keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu menjadi sangat penting untuk menciptakan pemilu yang demokratis.
Berdasarkan data terbaru kependudukan Indonesia, populasi perempuan mencapai 49,42% atau hanya selisih sedikit dengan jumlah laki-laki.
Secara angka, jumlah perempuan sebagai pemilih 2024 mencapai 102,58 juta atau 50% dari total daftar pemilih tetap (DPT).
Bersumber pada tersebut, partisipasi perempuan dalam penyelenggaran pemilu 2024 sangat banyak. Karena itu, perempuan seharusnya menjadi aset dalam penyelenggaraan pemilu.
Baca Juga: DKPP: Sangat Sedikit Perempuan yang Diadukan
"Harusnya perempuan itu menjadi aset, bukan menjadi beban, baik penyelenggaraan pemerintahan maupun penyelenggaraan pemilu," kata anggota DKPP, Ratna Dewi Pettalolo, dalam Talkshow DKPP bersama Radio Sonora edisi ke-3, Kamis (16/11/2023).
Menurutnya, keterlibatan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu perlu didorong banyak pihak.
"Keterlibatan perempuan secara aktif dalam penyelenggaraan pemilu itu harus terus didorong sehingga dia memberi peran yang sangat signifikan untuk mempengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilu," jelasnya.
Perempuan yang terjun dalam dunia kepemiluan sejak 2008 ini menyebut peran perempuan sangat penting dan mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki, baik sebagai penyelenggara, pemilih, maupun peseta pemilu.
Baca Juga: Peran Penting DKPP dalam Demokrasi dan Pelaksanaan Pemilu 2024
Keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu telah terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik sebagai pemilih, penyelenggara, maupun peserta pemilu.
Meski memiliki kedudukan dan hak yang sama untuk berperan dalam penyelenggaraan pemilu, keterlibatan perempuan dalam politik masih cukup minim.
Dewi membeberkan regulasi perempuan sebagai penyelenggara pemilu masih perlu advokasi atau dorongan sehingga keterwakilan perempuan menjadi sesuatu yang wajib.
Pasalnya, dalam undang-undang pembentukan penyelenggara pemilu baik di KPU maupun Bawaslu, ketentuan keterwakilan perempuan 30% masih menggunakan kata 'memperhatikan' bukan 'wajib' sehingga dorongan keterpenuhan 30% masih di ranah proses pendaftaran.
"Frasanya kan masih menggunakan 'memperhatikan', sehingga ini dinilai oleh penyelenggara pemilu di tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten/kota itu sepertinya masih mengakomodir keterwakilan perempuan di tingkat pendaftaran," ujarnya.
"Setiap pendaftaran pemilu itu memang harus memenuhi 30% keterwakilan perempuan, tapi belum sampai pada keterpilihan. Jadi, secara angka nasional, di KPU dan Bawaslu itu belum memenuhi 30% cuma ada 1 penyelenggara pemilu perempuan," lanjutnya.
Sama halnya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara pemilu belum mencapai 30%.
"Demikian juga di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, bisa nanti dilihat datanya, belum mencapi 30% keterwakilan perempuan," ujarnya.
Minimnya keterwakilan perempuan dalam penyelenggaran pemilu menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan semua pihak terkait.
"Jadi ini pekerjaan rumah yang harus diselesaikan kalau memang target 30% itu harus dicapai maka frasa 'memperhatikan' itu harus diubah menjadi 'wajib' untuk memenuhi 30% keterwakilan perempuan," ujarnya.
Selain keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara negara, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga secara tegas mewajibkan setiap kepengurusan partai politik mencapai 30% keterwakilan perempuan.
Keterwakilan perempuan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dan dipenuhi. Kehadiran perempuan dalam penyelenggaraan pemilu dinilai memiliki peran yang sangat strategis untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan perempuan.
Dewi berharap semua pihak termasuk kaum laki-laki mendorong terwujudnya kebijakan yang berpihak pada kepentingan perempuan.
Ia menilai hal tersebut bisa terjadi dimulai dari proses pemilu. Sebab, pemilu akan melahirkan wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen.
Mereka memiliki kewenangan merumuskan kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan.