Sonora.id - Menjelang pergantian tahun, Indonesia Kita menyajikan pertunjukan ke-41 yang mengusung tema pertarungan politik yang terjadi di antara dua pihak yang sebelumnya bersahabat.
Selama dua hari, yaitu 1 Desember dan 2 Desember 2023, Indonesia Kita menggelar pertunjukan berjudul “Musuh Bebuyutan” yang dipentaskan di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki.
Lakon pertunjukan ini digarap oleh Agus Noor sebagai penulis dan direktur artistik, bersama dengan Butet Kartaredjasa sebagai pendiri Indonesia Kita yang juga tampil sebagai aktor utama.
“Musuh Bebuyutan” mengisahkan hubungan seorang pemuda dan seorang perempuan yang bertetangga dan berteman baik. Namun sebuah peristiwa menjadikan keduanya berseteru dan berbeda pilihan politik.
Baca Juga: Sambut Pilpres 2024, Indonesia Kita Pentaskan 'Calon Lawan'
Permusuhan keduanya merembet ke mana-mana, membuat situasi kampung menjadi penuh kasak kusuk.
Masyarakat menjadi terbelah sikap, ada yang mendukung si pemuda, dan ada juga yang mendukung si perempuan.
Situasi di perkampungan itu makin memanas ketika Lurah lama akan habis masa jabatannya, dan pemilihan Lurah baru akan dilangsungkan. Akankah Lurah lama tidak akan ikut “cawe-cawe” dalam pemilihan itu?
Indonesia Kita sebagai pertunjukan panggung yang bertekad menampilkan kekayaan seni tradisional, di pentas ke-41 ini akan menampilkan gaya pemanggungan yang terinspirasi pada kesenian lenong.
Baca Juga: Kenang Nano Riantiarno, Indonesia Kita Gelar Lakon Legendaris Teater Koma
Pilihan pemanggungan seperti ini untuk menggambarkan suasana perkampungan yang tenang dan akrab, tetapi kemudian menjadi penuh kehebohan.
Gaya pemanggungan lenong juga akan membuat panggung pertunjukan menjadi lebih penuh dengan kejenakaan.
Dengan kejenakaan itulah, segala intrik, konflik, dan suasana permusuhan bisa ditampilkan secara penuh humor, dengan sindiran isu-isu politik yang dikemas dengan menarik.
Peristiwa demi peristiwa yang menandai perseteruan, dikemas dengan gaya
humor.
“Lenong adalah seni pemanggungan yang akrab. Di pertunjukan-pertunjukan lenong tradisional, para penonton bahkan bisa memberikan komentar dan berkomunikasi langsung dengan para pemain.
Celetukan-celetukan spontan antara pemain dan penonton yang terjadi di pementasan lenong inilah yang membuat seni lenong bisa dikatakan sangat demokratis. Inilah yang ingin kita tampilkan di pertunjukan ini.
Judulnya memang terkesan tegang ya, Musuh Bebuyutan. Namun inilah inti pertunjukan kali ini.
Kami berharap, perbedaan pendapat itu tidak harus dijadikan permusuhan. Jadi pertunjukan ini bisa dikatakan persiapan dan upaya mengingatkan penonton Indonesia Kita, supaya perbedaan pilihan yang akan terjadi di tahun depan nanti, harus tetap dijalani dengan santai, seru, guyon, dan jangan terlalu serius,” ujar Agus Noor tentang lakon yang dia garap kali ini.
Sejalan dengan pesan Agus Noor lewat naskah yang ditulisnya ini, Butet Kartaredjasa juga menyampaikan harapannya bahwa melalui pertunjukan seni, masyarakat Indonesia bisa lebih tenang dan kalem menghadapi pesta demokrasi yang akan terjadi dalam beberapa bulan lagi.
“Negara ini tak ubahnya perkampungan dalam pertunjukan lenong. Ada yang tampil di atas panggung, menyajikan sandiwara, dan penonton bisa mengomentari penampilan mereka. Namun seperti biasa, apa pun komentar penonton, para pemain terus melanjutkan peran-perannya. Saya berharap pertunjukan Indonesia Kita kali ini, bisa mengingatkan masyarakat bahwa proses demokrasi kita seperti pertunjukan lenong. Publik bisa memberikan pendapat, namun tetap saja para aktor di atas panggung akan mengikuti jalannya skenario. Untuk itu, kita tidak perlu sampai harus berseteru, bermusuhan, dan saling benci bahkan dengan saudara sendiri hanya karena perbedaan politik. Kita menikmati saja pertunjukan demokrasi nanti,” ujar Butet Kartaredjasa.
“Lakon yang akan ditampilkan merupakan sebuah karya seni yang dihadirkan dengan sentuhan unik dan kental akan budaya dengan mengangkat kekayaan seni khas Betawi dalam format lenong. Dengan tema perebutan takhta dan kuasa, lakon ini tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga sebuah karya seni yang sarat pesan moral, dipadu dengan unsur komedi yang menghibur. Dalam setiap adegan, penonton akan disuguhkan dengan nuansa kehidupan masyarakat Betawi yang khas, disertai dengan gaya lenong
yang membuat pertunjukan ini begitu istimewa. Melalui setiap dialog dan tingkah laku para karakter, lakon ini mengajak penonton untuk merenung, tertawa, dan pada akhirnya, mengambil hikmah dari cerita yang dihadirkan. Semoga pesan moral yang terkandung dalam pertunjukan ini dapat tersampaikan dan diterima dengan baik oleh para penikmat seni,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.